Pages

Wednesday, April 18, 2012

Sistem Waris Kekeluargaan Matrilineal

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berbicara mengenai hal-hal yang menyangkut kewarisan dan sebagainya yang bersangkutan, banyak tanya dalam diri kita, saat kita jauh menghubungi berkenaan dengan pembagian waris, apakah benar kita berhak atas harta warisan tersebut? Terkadang, kita hanya terima bersih atas bagian waris. Peristiwa-peristiwa terkait waris seperti tadi, sering kali tarjadi dalam kehidupan kita.
Banyak sengketa waris terjadi diantara para ahli waris, baik terjadi sebelum maupun setelah harta warisan tersebut dibagikan.  Hukum waris merupakan bagian dari hukum perdata, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban diantara anggota masyarakat khususnya bidang keluarga.
Indonesia mempunyai beragam adat, budaya serta latar belakang yang melandasi kehidupan masyarakatnya. Begitu pula dalam hukum waris berdasarkan adat sangatlah beragam bergantung pada sifat kedaerahan. Banyaknya jumlah suku bangsa di Indonesia, banyak pula jumlah hukum waris adat yang ada.
Selain itu, terdapat juga hukum Islam mengatur tentang hukum waris bagi umatnya yang bersumber dan berdasarkan pada kitab Suci Al qur’an, hadist dan ijtihad. Belum lagi hukum waris perdata yang ditingggalkan pemerintah colonial Belanda.
Di sini pemerintah sangat sulit untuk mengatur unifikasi hukum waris di Indonesia. Factor yang menjadi kendala penyatuan hukum waris di Indonesia tidak lain dari beragamnya masyarakat di Indonesia. Hal yang terpenting di sini adalah keadilan bagi masyarakat dalam bidang waris dapat mereka rasakan. Meskipun hal ini dapat dianggap adanya ketidak pastian hukum dibidang waris. Akibatnya, hukum waris yang dipakai di Indonesia bergantung pada pewaris dan ahli warisnya.
Untuk ini, agar kita semua bisa memahami perbedaan hukum waris yang ada di Indonesia, makalah ini akan menyajikan salah satu hukum waris adat yakni Sistem Hukum Waris Adat Matrilineal, yang mana hukum waris ini terdapat di daerah Minangkabau.
B.     Rumusan Masalah
1.      Mencari penjelasan mengenai Adat Matrilineal?
2.      Bagaimanakah Sistem Hukum Waris Adat Matrilineal?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Memahami tentang Hukum Adat, yakni Adat Matrilineal.
2.      Untuk mengetahui bagaimana system Hukum waris adat Matrilineal.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Umum Masyarakat Adat Matrilineal
Di seluruh wilayah Indonesia pada tingkatan masyarakat terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia lahir dan batin. Golongan-golongan itu mempunyai tata-susunan yang tetap dan kekal dan orang-orang dalam golongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, menurut kodrat alam. Tidak ada seorang dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan ini mempunyai pengurus sendiri, harta benda sendiri. Golongan-golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hukum.[1]
Berbicara tentang sistem kewarisan, tidaklah dapat dilepaskan dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia. Masyarakat adat yang ada di Indonesia memeluk agama yang berbeda-beda, bersuku-suku, kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga bentuk kekeluargaan maupun kekerabatan yang berbeda-beda pula.
Hukum waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang bebeda. Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang system keturunannya patrilineal, matrilineal, dan parental atau bilateral. Pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku system kewarisan yang sama.
Salah satu sistem itu adalah Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang anggota masyarakat tersebut menarik garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya.  Akibat hukum yang timbul adalah semua keluarga adalah keluarga ibu, anak-anak adalah masuk keluarga ibu, serta mewaris dari keluarga ibu. Suami atau bapak tidak masuk dalam keluarga ibu atau tidak masuk dalam keluarga istri. Dapat dikatakan bahwa sistem kekeluargaan yang ditarik dari pihak ibu ini, kedudukan wanita lebih menonjol daripada pria  di dalam pewarisan.[2]
B.     Hukum Waris Adat Matrilineal
Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik. Masalahnya adalah, antara lain: Apakah ada persamaan antara hukum waris adat yang dianut oleh berbagai suku atau kelompok tersebut, dan apakah hal itu tetap dianut walaupun mereka menetap di luar daerah asalnya.[3]

Menguraikan system hukum adat waris dalam suatu masyarakat tertentu, kiranya tidak dapat terlepas dari system kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula halnya dengan system hukum adat waris dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau, ini berkaitan erat dengan system kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu.
Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa merupakan masalah yang aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena kekhasannya dan keunikannya bila dibandingkan dengan system hukum adat waris dari daerah-daerah lain di Indonesia ini. Seperti telah dikemukakan, bahwa system kekeluargaan di Minangkabau adalah system yang menarik garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan.
Dengan system tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta Pusaka Tinggi yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yang harta yang turun dari satu generasi.
C.    Harta Warisan Dalam Hukum Adat Waris Minangkabau
Harta kaum dalam masyarakat Miinangkabau yang akan diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak terdiri dari:
a.      Harta Pusaka Tinggi
Yaitu harta yang turun temurun dari beberapa generasi, baik yang berupa tembilang basi, yakni harta tua yang diwarisi turun temurun dari mamak kepada kemenakan, maupun tembilang perak, yakni harta yang diperoleh dari hasil harta tua, kedua jenis harta pusaka tinggi ini menurut hukum adat akan jatuh kepada kemenakan dan tidak boleh diwariskan kepada anak.

b.      Harta Pusaka Rendah
Yaitu harta yang turun temurun dari satu generasi.

c.       Harta Pencaharian
Yaitu harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko. Harta pencaharian ini bila pemiliknya meninggal dunia akan jatuh kepada jurainya sebagai harta pusaka rendah. Untuk harta pencaharian ini sejak tahun 1952 ninik-mamak dan alim ulama telah sepakat agar harta warisan ini diwariskan kepada anaknya. Perihal ini masih ada pendapat lain, yaitu “bahwa harta pencaharian harus diwariskan paling banyak sepertiga dari harta pencaharian untuk kemenakan”.

d.      Harta Suarang
Sebutan untuk harta suarang ini ada beberapa, diantaranya: Harta Pasuarangan, Harta Basarikatan, Harta Kaduo-duo, atau Harta Salamo Baturutan, yaitu seluruh harta benda yang diperoleh secara bersama-sama oleh suami istri selama masa perkawinan, tidak termasuk ke dalam harta suarang ini harta bawaan suami atau harta tepatan isteri yang telah ada sebelum perkawinan berlangsung. Dengan demikian jelaslah, bahwa harta pencaharian berbeda dengan harta suarang.

D.    Ahli Waris dan Hal Mewaris Menurut Adat Minangkabau
Hukum waris adat dengan system kekeluargaan matrilineal ini menentukan bahwa anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibu, baik harta pencaharian maupun harta bawaan (harta pusaka)[4], oleh karenanya, sebagaimana diketahui, bahwa “kaum” dalam masyarakat Minangkabau merupakan persekutuan hukum adat yang mempunyai daerah tertentu yang dinamakan “tanah ulayat”. Kaum serta anggota kaum diwakili keluar oleh seorang “mamak kepala waris”. Anggota kaum yang menjadi mamak kepala waris lazimnya adalah saudara laki-laki yang tertua dari ibu, mamak kepala waris harus cerdas dan pintar. Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum terletak pada rapat kaum, bukan pada mamak kepala waris. Anggota kaum terdiri dari kemenakan dan kemenakan ini adalah ahli waris. Menurut hukum adat Minangkabau ahli waris dapat dibedakan antara:
a.      Waris Bertali Darah
Yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah yang terdiri dari ahli waris satampok ( waris setampuk ), waris sajangka (waris sejengkal), dan waris saheto (waris sehasta). Masing-masing ahli waris yang termasuk waris bertali darah ini mewaris secara bergiliran, artinya selama waris bertali darah setampuk masih ada, maka waris bertali darah sejengkal belum berhak mawaris. Demikian pula waris seterusnya selama waris sejengkal masih ada, maka waris sehasta belum berhak mewaris.

b.      Waris Bertali Adat
Yaitu waris yang sesame ibu asalnya yang berhak memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali waris bertali darah. Setiap nagari di Minangkabau mempunyai nama dan pengertian tersendiri untuk waris bertali adat sehingga waris bertali adat ini dibedakan sebagai berikut:
-          Waris menurut caranya menjadi waris: waris batali ameh, waris batali suto, waris batali budi, waris tambilang basi, waris tambilang perak.
-          Menurut jauh-dekatnya terdiri dari: waris dibawah daguek, waris didado, waris di bawah pusat, waris di bawah lutut.
-          Menurut datangnya, yaitu: waris orang dating, waris air tawar, waris mahindu.[5]

c.       Waris Bertali Budi
Yaitu waris dari orang lain yang sering dating berkunjung di bawah lindungan satu penghulu.

d.      Waris di Bawah Lutuik
Yaitu waris yang asalnya tidak jelas dan keturunan pembantu (budak) yang menetap sebagai anggota kerabat.[6]
Dari keempat macam ahli waris atau kemenakan tersebut yang sebagai ahli waris adalah kemenakan bertali darag yang sepuluhan ke bawah dan sepuluhan ke atas. Para ahli waris tersebut berhak menghalangi tindakan mamak kepala waris terhadap harta pusaka yang tidak mereka setujui. Sedangkan kemenakan lainnya, yang bertali adat, bertali budi, dan dibawah lutuik bukan ahli waris dari satu gadang (sabuah paruik) atau dari satu kesatuan kerabat yang disebut “kaum”.[7]
Sedangkan hak mewaris dari masing-masing ahli waris yang disebutkan diatas satu sama lain berbeda-beda bergantung pada jenis harta peninggalan yang akan ia warisi dan hak mewarisnya diatur menurut urutan prioritasnya. Hal tersebut akan dapat terlihat dalam paparan di bawah ini.
1.      Mengenai Harta Pusaka Tinggi
Apabila harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka tinggi, cara pembagiannya berlaku system kewarisan kolektif, yaitu seluruh harta pusaka tinggi diwarisi oleh sekumpulan ahli waris dan tidak diperkenankan dibagi-bagi pemilikannya dan dimungkinkan dilakukan “ganggam bauntuek”. Walaupun tidak boleh dibagi-bagi pemilikannya di antara para ahli waris, harta pusaka tinggi dapat diberikan sebagian kepada seorang anggota kaum oleh mamak kepala ahli waris selanjutnya dijual atau digadaikan guna keperluan modal berdagang atau merantau, asal saja dengan sepengetahuan dan seizing seluruh ahli waris. Disamping itu harta pusaka tinggi dapat dijual atau digadaikan, guna keperluan:
-          Untuk membayar hutang kehormatan
-          Untuk membayar ongkos memperbaiki Bandar sawah kepunyaan kaum
-          Untuk membayar hutang darah
-          Untuk menutupi kerugian bila ada kecelakaan kapal di pantai
-          Untuk ongkos naik haji ke Mekkah.




2.      Mengenai Harta Pusaka Rendah
Semula harta pusaka rendah adalah harta pecaharian. Harta pencaharian mungkin milik seseorang laki-laki atau perempuan. Pada mulanya harta pencaharian seseorang diwarisi oleh jurai atau setidak-tidaknya kaum masing-masing. Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya karena hubungan seorang ayah dengan anaknya bertambah erat dan juga sebagai pengaruh  agama Islam, maka seorang ayah dengan harta pencahariannya dapat membuatkan sebuah rumah untuk anak-anaknya atau menanami tanah pusaka istrinya dengan tanaman keras, misalnya pohon kelapa, pohon durian dll. Hal ini dimaksudkan untuk membekali isteri dan anak-anak manakala ayah telah meninggal dunia.

3.      Mengenai Harta Suarang
Harta suarang berbeda sama sekali dengan harta pencaharian sebab harta suarang adalah seluruh harta yang diperoleh oleh suami isteri secara bersama-sama selama dalam perkawinan. Kriteria untuk menentukan adanya kerja sama dalam memperoleh harta suarang, dibedakan dalam dua periode, yaitu dahulu ketika suami masih merupakan anggota keluarganya, ia berusaha bukan untuk anak isterinya melainkan untuk orang tua dan para kemenakannya sehingga ketika itu sedikit sekali kemungkinan terbentuk harta suarang sebab yang mengurus dan membiayai anak-anak dan isterinya adalah saudara atau mamak isterinya. Sedangkan pada dewasa ini adanya kerja sama yang nyata antara suami isteri untuk memperoleh harta suarang sudah Nampak, terutama masyarakat Minangkabau yang telah merantau jauh keluar tanah asalnya telah menunjukkan perkembangan ke arah pembentukan hidup keluarga (somah), yaitu antara suami, isteri, dan anak-anak merupakan satu kesatuan dalam ikatan yang kompak. Dalam hal demikian suami telah bekerja dan berusaha untuk kepentingan isteri dan anak-anaknya sehingga dalam kondisi yang demikian keluarga tadi akan mengumpulkan harta sendiri yang merupakan harta keluarga yang disebut harta suarang.
Harta suarang dapat dibagi-bagi apabila perkawinan bubar, baik bercerai hidup atau salah seorang meninggal dunia. Harta suarang dibagi-bagi setelah hutang suami-isteri dilunasi terlebih dahulu. Ketentuan pembagiannya sebagai berikut:  
(a)    Bila suami-isteri bercerai dan tidak mempunyai anak, harta suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri.
(b)   Bila salah seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak, maka sebagai berikut:
-          Jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua, separoh merupakan bagian jurai si suami dan separoh lagi merupakan bagian janda.
-          Jika yang meninggal isteri, harta suarang dibagi dua, sebagian untuk jurai suami dan sebagian lagi untuk duda.
(c)    Apabila suami-isteri bercerai hidup dan mempunyai anak, harta suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri, anak-anak akan menikmati bagian ibunya.
(d)   Apabila salah seorang meninggal dunia dan mempunyai anak, bagian masing-masing sebagai berikut:
-          Jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua antara jurai suami dengan janda beserta anak.
-          Jika yang meninggal isteri, harta suarang seperdua untuk suami dan seperdua lagi untuk anak serta harta pusaka sendiri bagian ibunya.
Berkaitan dengan pembahasan harta suarang, di bawah ini akan ditunjukkan beberapa putusan pengadilan mengenai harta suarang sebagai bukti, bahwa antara suami-isteri orang Minangkabau dalam perkembangan selanjutnya telah terjalin kerja sama dalam satu kesatuan unit yang disebut somah (gezin) sehingga terbentuk harta keluarga.
(i)     Putusan Landraad Talu tanggal 23 januari 1937 No. 5 tahun 1937 yang dikuatkan oleh Raad Van Justitie Padang tanggal 13 Mei 1937 (T. 148/508) menentukan bangunan yang didirikan atau tanaman yang ditanami di atas tanah harta kaum isteri bukanlah harta suarang.
(ii)   Putusan Landraad Payakumbuh tanggal 13 Juni 1938 No. Perdata 11 Tahun 1938, yang dikuatkan oleh Raad van Justitie Padang tahun 1938 mengatakan: bila suami meninggalkan beberapa orang janda, maka pembagian harta suarang menjadi sebagai berikut: separoh dari harta suarang menjadi pusaka rendah jurai si suami dan separoh lagi merupakan bagian para janda yang masih hidup.
(iii) Putusan Pengadilan Bukittinggi No. 46/1953 tanggal 26 september 1953 yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan tanggal 13 Maret 1956 No. 23/1954, yang menetapkan, bahwa harta suarang bertanggung jawab atas hutang suami. Kemudian adanya rumah di atas tanah kaum tidak dengan sendirinya membuktikan, bahwa rumah itu kepunyaan kaum, mungkin saja rumah itu kepunyaan isteri bersama sebagai harta suarang.[8]

E.     Hasil Penelitian LPHN Tahun 1971
Berkaitan dengan berbagai persoalan yang menyangkut hukum adat waris daerah Minangkabau, pada tahun 1971 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (sekarang Badan Pembinaan Hukum Nasional atau Babinkumnas) pernah mengadakan kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang dengan hasil sebagai berikut:
(a)    Harta pusaka diwariskan kepada kemenakan sedangkan harta harta yang diperoleh di luar harta pusaka itu boleh diwariskan kepada anak-anaknya.
(b)   Harta pencaharian diwariskan kepada anak-anaknya dengan tidak dipersoalkan apakah dibagi dengan system faraid atau tidak, yang penting, bahwa harta pencaharian itu diperuntukkan guna kepentingan anak-anak.
(c)    Apabila pihak isteri dari yang meninggal dunia mengusai harta pusaka dan ia enggan untuk mengembalikan harta tersebut kepada kaum suaminya dan malahan di katakana sebagai harta pencaharian, atau telah dihibahkan kepada anak-anaknya tanpa sepengetahuan ahliwaris (kemenakan) suaminya, dalam hal demikian Kerapatan Nagari yang diberi wewenang memuutus secara perdamaian.
(d)   Harta pencaharian tidak diharuskan seluruhnya jatuh kepada anak-anaknya, melainkan harus jatuh pula kepada kemenakannya sebab mamak laki-laki itu tadi dibesarkan, dididik, dan bahkan dikawinkan oleh kaumnya, sudah sewajarnya jika kemenakan juga memperoleh bagian dari harat peninggalan.
(e)    Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil antara harta pusaka dengan harta pencaharian sebab kedua-duanya merupakan hasil jerih payah yang diperuntukkan bagi kesejateraan anak-anak dan kemenakan untuk memenuhi pepatah adat “anak dipangku, kemenakan dibimbing” sehingga anak-anak yang termasuk suku ibunya dan kemenakan yang termasuk suku mamaknya, keduanya harus dipangku dalam arti dibesarkan, dididik, dan dipertanggung jawabkan, baik fisik maupun rohaninya. Demikian pula kemenakan yang termasuk kaum mamak harus dibimbing yang artinya harus dipelihara sama dengan anak. Dengan demikian seorang kemenakannya harus memelihara anak-anaknya dan juga kemenakannya.[9]











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang anggota masyarakat tersebut menarik garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya. Kemudian dalam harta yang diwariskan ada terbagi menjadi 4 yakni, Harta Pusaka Tinggi, Harta Pusaka Rendah, Harta Pencaharian, dan Harta Suarang.  
Dalam hal mewaris, ahli waris atau kemenakan terbagi menjadi beberapa lagi yakni, waris bertali darah, waris bertali adat, waris bertali budi, dan waris dibawah lutuik. Dari keempat macam ahli waris atau kemenakan tersebut yang sebagai ahli waris adalah kemenakan bertali darag yang sepuluhan ke bawah dan sepuluhan ke atas. Para ahli waris tersebut berhak menghalangi tindakan mamak kepala waris terhadap harta pusaka yang tidak mereka setujui.
Kiranya hanya ini yang dapat kami tuliskan di dalam makalah ini, jikalau di dalam nya tedapat kesalahan baik dalam segi penulisan atau referensi, maka akan kami perbaiki sebagaimana mestinya.











DAFTAR PUSTAKA
Suparman. Eman. Intisari Hukum Waris Indenesia. Bandung. Amrico. 1985.
Wignjoedipoero. Soerojo. Pengantar Asas-asas Hukum Adat. Jakarta. Haji Massagung 1994
Thaher. Asri. Sistem Pewarisan dan Kekerabatan Adat Matrilineal. Semarang. Tesis Universitas Diponegoro. 2006.
Wicaksono. Satriyo. Hukum Waris. Jakarta. Visi Media. 2011.


[1] Soerojo Wignjodipoero. Pengantar dan Asas-asas Huku Adat. Cetakan 12. CV. Haji Masagung. Jakarta 1994. Hal 78
[2] Asri Thaher, S.H. Sistem Pewarisan dan Kekerabatan Adat Matrilineal. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang. Hal 21
[3] Ibid, hal 4
[4] Satriyo. Wicaksosno. Hukum Waris. Visi Media.  Jakarta. 2011. Hal 10
[5] Eman Suparman, S.H. Intisari Hukum Waris Indonesia. Armico. Bandung 1985. Hal 62
[6] Op.cit 2. Hal 25
[7] Ibid. Hal 29
[8] Op.cit 5. Hal 64
[9] Ibid. hal 66

No comments:

Post a Comment

Sobat Blogger!
Alangkah Baiknya Jika Setelah Membaca Tulisan Ini Memberikan Komentar, Berupa Kritik dan Saran.
Yang Membangun Akan Blog Ini.
Terima Kasih.