Setiap produk pemikiran
hukum pada dasarnya adalah hasil interaksi si pemikir hukum dengan lingkungan
sosio-kultural atau sosio-politik yang mengitarinya. Oleh karena itu produk
pemikirannya itu sebenarnya bergantung pada lingkungan tersebut.
Pendekatan ini menjadi
penting, sedikitnya karena dua hal, yaitu: pertama, untuk meletakkan produk
pemikiran hukum itu pada tempat yang seharusnya. Kedua, untuk memberikan
tambahan keberanian kepada para pemikir hukum
sekarang dan masa-masa akan dating agar tidak ragu-ragu melakukan
pembaharuan hukum.
Di kalangan sahabat
Nabi Muhammad Saw, ‘Umar bin Khattab termasuk salah satu pemikir hukum Islam
yang dalam menetapkan hukum sangat memperhatikan kondisi social masyarakatnya.
Contoh nyata dalam hal ini misalnya tentang hukum potong tangan bagi pencuri
sesuai dengan Al Quran. Akan tetapi, ‘Umar bin Khattab pernah membatalkan
hukuman potong tangan tersebut pada suatu tahun terjadinya kelaparan.[1]
Argumentasi lain mengatakan bahwa hukuman potong tangan tersebut dibatalkan karena
pencurian oleh orang yang terdesak mencari makan.[2]
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa dalam menetapkan suatu hukum, Umar bin Khattab selalu
memperhatikan latar belakang yag menyertai kasus tersebut.
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa hukum-hukum yang didasarkan
kepada lingkungan atau yang dikenal dengan “urf”
bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman tertentu dan tempat
tertentu. Sebagai konsekuensinya, mau tidak mau hukum juga berubah mengikuti
perubahan “urf“ tersebut. Dalam konteks
ini, berlaku kaidah Ushul fiqh yang menyebutkan:
الحكم بتغير الاْزمنة والاْمكنة
والاْحوال و الأشخاص و البيأت[3]
Artinya: “Ketentuan hukum dapat berubah dengan terjadinya
perubahan waktu, tempat, keadaan, individu dan perubahan lingkungan”.
Dala kaidah lain dikatakan bahwa:
الحكم
يدور مع علته وجودا و عدما
Artinya: “Hukum
itu bergerak mengikuti illatnya (kemaslahatannya), ada illat ada hukum, tidak
ada illat tidak ada hukum”[4]
Hukum
akan terlaksana secara efektif, apabila hukum itu dirumuskan dan ditetapkan
sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakatnya. Dengan kata lain, pelaksanaa
hukum itu akan berjalan efektif apabila hukum itu dirumuskan atau ditetapkan
berdasarkan pada realitas empiris dan bukan berdasarkan pada dunia ide semata.[5]
[1] Pujiono, Hukum Islam Dinamika Perkembangan Masyarakat, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2012), h. xv
[2] Amir Syarifuddin, Perubahan Pemikiran dalam Islam, (Badung: Angkasa Raya,
1998)h. 98
[3] Jalaludin Asy-Syuyuti, Ashbah Wan Nadhair, (Dar-Kuttub), tt.h
[4] A. Mukti Arto, Peradilan Agama Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 21
[5] Pujiono, Op.Cit, h. xx
thanks untuk ilmunya
ReplyDelete