Tahapan sejarah pemikiran filsafat abad modern menurut versi Barat dibagi menjadi tiga periode,
yaitu : zaman kuno, pertengahan, dan modern. Ciri-ciri
pemikiran filsafat modern, antara lain menhidupkan kembali rasionalisme
keilmuan subjektivisme, humanism dan lepas dari pengaruh atau dominasi
agama(gereja). Ahmad Syadali
dan Mudzakir (2004:101) menguraikan secara panjang lebar bahwa filsafat abad
modern pada pokoknya di mulai dengan tiga aliran yaitu: Aliran Rasionalisme dengan tokohnya Rene
Descartes (1596-1950 M), Aliran empirisme dengan tokohnya Francis Bacon
(1210-1292 M), Aliran kritisisme dengan tokohnya Immenuel kant
(1724-1804 M).
3 aliran di
atas adalah aliran filsafat pada abad modern, tetapi di sini kami hanya membahas
2 aliran yakni
: Aliran Rasionalisme dan
Aliran Empirisme. Sebagai berikut:
Rasionalisme
Rasionalisme
adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat
terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut aliran rasionalis, suatu
pengetahuan diperoleh dengan cara berfikir.
Para tokoh
aliran rasionalisme, di antaranya adalah Descartase (1596-1650 M), Spinoza
(1632-1677 M) dan Leibniz (1646-1716 M). Aliran Rasionalisme ada dua macam,
yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama, aliran
rasionalisme adalah lawan dari otoritas dan biasanya digunakan untuk mengkritik
ajaran agama. Adapun dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan dari
empirisme dan sering berguna dalam menyusun teori pengetahuan. Hanya saja,
empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan jalan mengetahui objek
empirisme, sedangkan rasionalisme mengajarkan bahwa pengtahuan diperoleh dengan
cara berfikir, pengetahuan dari empirisme dianggap sering menyesatkan. Adapun
alat berfikir adalah kaidah-kaidah yang logis.
Zaman modern
dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat Descartes, istilah modern
di sini hanya digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat yang mempunyai corak
yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat pada abad
pertengahan Kristen. Corak utama filsafat modern yang di maksud di sini ialah
di anutnya kembali rasionalisme seperti pada masa kuno. Gagasan itu, di sertai
oleh argument yang kuat, di ajukan oleh Descartes. Oleh karena itu, gerakan
pemikiran Descartes sering juga di sebut bercorak renaissance. Pada masa ini,
rasionalisme Yunani lahir kembali, sebagai objek kajian yang harus dan menarik
untuk di amati. Sejak kezaliman intelektual di lakukan oleh gereja dan tidak
sedikit para filosuf dikekang kebebasan berfikirnya, zaman ini member pintu
lebar-lebar kepada siapapun, bukan hanya kepada filosuf, tetapi bagi semua
orang yang mau mencurahkan pandangan dan pendapatnya atau kepada siapa pun yang
mau berfilsafat.
Anggapan
Descartes sebagai Bapak Filsafat Modern, menurut Bertrand Russel, memang benar.
Kata bapak diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman
modern yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang di
hasilkan oleh pengtahuan rasional. Dialah orang pertama pada akhir abad
pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat yang distinct, yang
menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan perasaan, bukan iman,
bukan ayat suci, dan bukan yang lainnya. (Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004:107)
Descartes
adalah orang Inggris. Ayahnya anggota parlemen Inggris. Pada tahun 1612,
descates pindah ke prancis. Ia termasuk orang yang taat mengerajakan ibadah
menurut ajaran katholik, tetapi ia juga menganut ajaran Galilio yang pada waktu
itu masih di tentang oleh tokoh-tokoh gereja. Dari tahun 1629 M sampai 1649 M,
ia menetap di Belanda.
Tokoh-Tokoh
Rasionalisme
Rene Descartes
Metode Rene Descartes
Segala
sesuatu perlu di pelajari, tetapi di perlukan metode yang tepat untuk mempelajarinya.
Rene Descartes pun berfikir demikian, ia
mengatakan bahwa mempelajari filsafat membutuhkan metode tersendiri agar
hasilnya benar-benar logis. Ia sendiri mendapatkan metode yang di carinya itu,
yaitu dengan menyaksikan segala-galanya atau menerapkan metode keragu-raguan,
artinya kesangsian atau keragu-raguan ini harus meliputi seluruh pengetahuan
yang di miliki, temasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini di anggap
sudah final dan pasti. Misalnya, bahwa ada suatu dunia material bahwa saya
mempunyai tubuh, kalau terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kesangsian
radikal, itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan dasar bagi
seluruh ilmu pengetahuan.
Dalam
karya Descartes, ia menjelaskan pencarian kebenaran melalui metode
keragu-raguan. Karyanya berjudul A Discourse on Methode
mengemukakan perlunya memerhatikan empat hal berikut:
1. Kebenaran
baru dinyatakan shahih jika telah benar-benar indrawi dan realitasnya telah
jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu
merobohkannya.
2. Pecahkan
lah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak-banyaknya, sehingga tidak ada
suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3. Bimbinglah
pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah di
ketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4. Dalam
proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus di buat
perhitungan-perhitungan sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang
menyeluruh, sehingga di peroleh keyakinan banwa tak ada satu pun yang
mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahah itu. (juhaya S. Pradja, 2000 :
65)
Rene
Descartes tidak begitu saja menerima kebenaran atas dasar pancaindra. Pada
dasarnya, ia bersikukuh bahwa semua yang dilihatnya harus diragukan
kebenarannya, dan setiap yang telah terlihat jelas dan tegas harus
dipilah-pilah hingga mendapat bagian-bagian yang kecil. Atas dasar
aturan-aturan itulah, Descartes mengembangkan pikiran filosofisnya. Dia sendiri
meragukan pakah sekarang sedang berdiri menyaksikan realitas yang tampak di
matanya atau dia sedang tidur dan bermimpi. Sebagaimana ia meragukan dirinya
apakah sedang sadar atau sedang gila.
Keraguan
Descartes sangat rasional, karena tidak ada perbedaan signifikan antara
kenyataan dalam mimpi dan kenyataan ketika terjaga, karena gambarannya sama.
Sebagaimana seseorang yang bermimpi bertemu kakeknya, kemudian ia benar-benar
bertemu dengan kakeknya. Apakah yang benar itu ketika tertidur atau terjaga,
tidaklah jelas karena hasilnya tidak ada bedanya. Bahkan ketika seseorang
pernah melihat kuda yang sedang terbang dengan sayapnya. Sebuah kenyataan yang
berawal dari dua kenyataan yang berbeda, karena kuda dan sayap semula tidak
bersatu, tetapi apa yang bisa di lihat bisa saja menjadi satu. Oleh karena itu,
keraguan terhadap semua yang dilihat sangat beralasan, karena terlalu banyak
tipu daya terhadap pembuktian kebenaran hakiki.
Juhaya
S. Pradja (2000:65) mengatakan bahwa betapapun radikalnya keragu-raguan
Descartes ini, akhirnya ia pun mengakui behwa di sana, ada satu hal yang tak
bisa di ragukan, biar setan licik atau jin gundul yang berniat menipunya. Yang
dimaksudkannya adalah bahwa “aku yang sedang ragu-ragu menandakan bahwa aku
sedang berfikir dan karena aku berfikir, aku ada” (cogito ergo sum).
Mengingat bahwa aku berfikir ini adalah sesuatu, dan mengingat bahwa kebenaran
cogito ergo sum begitu keras dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptic
yang paling hebat pun tidak akan menipu menumbangkannya, sampailah aku pada
keyakinan bahwa aku dapat menerimanya sebagai prinsip pertama dari filsafat
yang ku cari.
Ide-
ide Bawaan
Yang
paling fundamental dalam mencari kebenaran adalah senantiasa merujuk kepada
prinsip Cogito ergo sum. Hal tersebut di sebabkan oleh keyakinan bahwa dalam
diri sendiri, kebenaran lebih terjamin dan terjaga. Dalam diri sendiri terdapat
3 ide bawaan sejak lahir, yaitu: (1) pemikiran, (2) Allah, (3) keluasan.
1. Pemikiran.
Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir, harus diterima
juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
2. Allah
sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide sempurna,
mesti ada suatu penyebab sempurna untuk ide itu karena akibat tidak bisa
melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain dari pada Allah.
3. Keluasan.
Materi sebagai keluasan atau eksestensi sebagaimana hal itu di lukiskan dan
dipelajari aoleh ahli-ahli ilmu ukur. (Juhaya S. Pradja, 2000:67)
Substansi
Descartes
menyimpulkan bahwa selain Allah, ada dua substansi : pertama, jiwa yang
hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan.
Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia
mengalami banyak kesulitan untuk membuktikan keberadaannya. Bagi Descartes,
satu-satunya alasn untuk menerima adanya dunia materiil ialah bahwa Allah akan
menipu saya kalau sekiranya ia member saya ide keluasan, sedangkan di luar
tidak ada satu pun yang sesuai dengannya. Dengan demikian, keberadaan yang
sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia
materiil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna.
Manusia
Descartes
memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi
: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya,
tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap
subtansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata
bahwa Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh
atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh.
Kritik
atas Rasionalisme Descartes
Fenomenologi
jerman, spiritualisme, positivism Bergsonisme dan bentuk-bentuk katholikisme
adalah cabang-cabang dari Cartianisme. Adapun aliran-aliran lain, baik yang
menyanggah, maupun yang tampil untuk mendukungnya –sadar atau tidak-memperoleh
inspirasi dari problem-problem yang dipermasalahkan oleh Descartes, khususnya
mengenai dualism jiwa-badan, masalah rasio sebagai dasar keyakinan dan
kebenaran, serta masalah berada(exist).
Pandangan
Rene Descartes tentang kebenaran berpusat pada “Aku” adalah lahirkan kenisbian,
karena setiap orang memiliki keakuan masing-masing akan memiliki hak untuk
menyatakan kebenarannya, alhasil, kenisbian akan beranak-pinak.
Rasionalisme
tidak lebih dari upaya semua “Aku” untuk membuktikan kebenaran, tetapi semua
keakuan tidak berhasil menemukan titik semu alias terjebak oleh dunia
relativitas. Di sisi lain, rasio setiap “Aku” berbeda-beda tingkat
kecerdasannya, sedangkan Rene Descartes tidak membedakan tingkat kecerdasan,
karena setiap rasio memiliki standar kebenaran sendiri-sendiri. Dengan
demikian, kebenaran tidak pernah sampai atau sampai pada yang selalu nisbi.
Penganut
empirisme begitu kecewa dengan rasionalisme, karena telah menghinakan empirisme,
sementara rasionalisme meyakini bahwa kebenaran itu berpusat pada kepastian
tentang pikiran diri sendiri, sementara salah satu diri sendiri adalah
fungsi-fungsi indrawi, yang berhubungan juga dengan empirisme. Dalam kasus ini,
Immanuel Kant mengkritik habis-habisan, karena semuanya menunjjukkan bahwa
rasionalisme murni berpijak atas dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang goyah
sehingga Cogito ergo sum tidak lagi di anggap titik tolak yang memadai.
Descartes
mencari suatu dasar bagi metode itu. Bagaimana saya bisa tahu bahwa hal yang
menampakkan dirinya dengan jelas pada mata rohani ialah hal yang betul-betul
terdapat dalam dunia luar, bagaimana saya tahu bahwa itu bukan impian?
Pertanyaan tersebut sebagai awal penerapan paradigm keragu-raguan. Yang membuat
tidak ragu adalah kita sendiri. Lalu, mengapa munculnya keraguan itu dari diri
kita juga? Kritik demikian dilontarkan kepada Descartes, sehingga
rasionalismenya tetap tidak dapat dijadikan paradigma universal dalam
berfilsafat.
De
Spinoza (1632-1677 M)
Spinoza
dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada tahun 1677 M. Nama aslinya
Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari agama yahudi, ia mengubah
namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Ia hidup di pinggiran kota Amsterdam.
Spinoza maupun Leibniz mengikuti pemikiran Rene Descartes. Dua tokoh terakhir
ini juga menjadikan substansi sebagai tema pokok dalam metafisika mereka, dan
mereka berdua juga mengikuti metode Descartes. Tiga filosofis ini, Descartes,
Spinoza, dan Leibniz, biasanya di kelompokkan ke dalam suatu mazhab, yaitu
Rasionalisme.
Spinoza
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kebenaran tentang
sesuatu, sebagaimana pertanyaan, apa substansi dari sesuatu, bagaimana
kebenaran itu bisa benar-benar yang terbenar. Spinoza menjawabnya dengan
pendekatan yang juga sebelumnya dilakukan oleh Rene Descartes, yakni pendekatan
deduksi matematis, yang dimulai dengan meletakkan definisi, aksioma, proposisi,
kemudian barulah membuat pembuktian berdasarkan definisi, aksioma, proposisi
itu.
De
Spinoza memiliki cara berfikir yang sama dengan Rene Descartes, ia mengatakan
bahwa kebenaran itu terpusat pada pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah
jiwa, sedangkan keluasan adalah tubuh, yang eksistensinya berbarengan.
Leibniz
(1646-1716 M)
Seorang
filosuf Jerman, matematikawan, fisikawan, dan
sejarawan. Lama menjadi pegawai pemerintah, menjadi atase, pembantu
pejabat tinggi nengara pusat. Dialah Gottfried Eilhelm von Leibniz yang
dilahirkan pada tahun 1646 M dan meninggal pada tahun 1716 M. metafisikanya
adalah idea tentang substansi yang di kembangkanya dalam konsep monad.
Metafisika
Leibniz sama-sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam
semesta ini, mekanisme dan keseluruhannya bergantung kepada sebab, sementara substansi
menurut Leibniz ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat
dirumuskan, “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan, tuhan juga harus
mempunyai alasan untuk setiap yang di ciptakannya. Kita lihat bahwa hanya satu
substansi , sedangkan Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia
menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda dari yang lain,
dan Tuhan (supermonad) adalah pencipta monad-monad itu. Karya Leibniz tentang
ini di beri judul Monadology (study tentang monad) yang di tulisnya pada tahun
1714 M. ini adalah singkatan metafisika Leibniz.