BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Arbitrase adalah
suatu lembaga yang berfungsi sebagai salah satu alat untuk dapat menyelesaiakn
sengketa yang terjadi di antara para pihak. Cara kerja arbitrase hamper sama
dengan pengadilan sehingga masyarakat sering menyebutn lembaga arbitrase
sebagai pengadilan swasta. Berdasarkan penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (UU No.4 Tahun 2004), dapat diketahui bahwa bagi
masyarakat tidak terdapat keharusan untuk menyelesaiakn suatu sengketa melalui
pengadilan, tetapi para pihak dapat memilih menyelesaiakn sengketa yang terjadi
dengan cara perdamaian atau arbitrase.
Arbitrase
Indonesia diatur dalam Unadng-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(UU Nomoe 30 Tahun 1999). Dasar dari dibuatnya undang-undang tersebut adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970). Pada
penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 disebutkan bahwa penyelesaian
perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap
diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir)
dari pengadilan.
Persyaratan
utama yang harus dilakukan oleh para pihak untuk dapat mempergunakan arbitrase
sebagai penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi ataupun telah terjadi adalah
adanya kesepakatan di antara para pihak terlebih dahulu yang dibuat dalam
bentuk tertulis dan disetujui oleh para pihak.
Keinginan para
pihak untuk menggunakan arbitrase sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa,
harus dicantumkan secara tegas dalam kesepakatan yang disetujui oleh para
pihak. Penegasan ini merupakan suatu keharusan bagi para pihak sebagaimana yang
diatur pada Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999, yaitu “Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat
antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan
perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau
beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut
akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternative penyelesaian
sengketa”.
B.
Dasar
Hukum Arbitrase
Arbitrase sudah
ada sejak zaman Belanda. Dasar hukum pembentukan arbitrase pada saat itu adalah
Pasal 377 HIR yang mengatur “jika orang
Indonesia dan oaring timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan
oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang
berlaku bagi bangsa Eropa”.
Menurut Sudikno
Mertokusumo, arbitrase adalah prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan
berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan
sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.
Dalam Pasal 615
R.V juga mengatur tentang dasar hukum arbitrase yaitu “Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatau
sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk
melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang
atau beberapa orang wasit”.
Pada penjelasan
Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1968 diterangkan bahwa “Menurut Pasal-pasal 25 ayat (1) dan 36 ayat (2) Konvensi, setiap
perselisihan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari kedua belah pihak
yang berselisih, sebelum dapat diajukan di depan Mahkamah Arbitrase (Arbitrase
Tribunal). Dengan pasal ini, dipastikan bahwa pemerintah mempunyai wewenang
untuk memberikan persetujuan yang dimaksud itu serta untuk mewakili Republik
Indonesia dalam perselisihan tersebut dengan hak subtitusi di mana perlu”.
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase adalah penyelesaian sengketa keperdataan, terutama
sengketa di bidang dagang sehingga pada tanggal 3 Desember 1977, Kamar Dagang
dan Industri (KADIN) memprakarsai berdirinya Badan Arbitrase Nasional
Indonesia. Pasal 1 ayat (1) Anggaran Dasar Badan Arbitrase Nasional Indonesia
menentukan bahwa “Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (b) adalah sebuah badan yang didirikan atas prakarsa Kamar
Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, yang bertujuan memberikan penyelesaian
yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai
soal-soal perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional
maupun yang bersifat internasional.”
Badan Arbitrase
Nasional Indonesia menangani masalah keperdataan yang bersifat khusus, yakni
bidang perdagangan, bidang industry, dan keuangan. UU No. 30 Tahun 1999
diundangkan pada lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138 dan
menjadi dasar hukum dari arbitrase di
Indonesia hingga saat ini.
C.
Perjanjian
Arbitrase
Penggunaan
arbitrase sebagai penyelesaian suatu sengketa tidak dapat dipaksakan. Agar
suatu sengketa dapat diajukan ke arbitrase, harus terdapat kesepakatan terlebih
dahulu dari masng-masing pihak. Keharusan adanya persetujuan dari masing-masing
pihak ini diatur dalam Pasal 7 UU No. 30 Tahun 1999 bahwa “Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan
terjadi di antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.”
Untuk dapat
menjalankan proses arbitrase, para pihak harus menempuh proses sebagaimana yang
diatur pada Pasal 8 UU No. 30 Tahun 1999 yakni sebagai berikut.
1) Dalam
hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat,
telegram, teleks, faksimile, email, atau dengan buku ekspedisi kepada termohon
bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.
2) Surat
pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memuat dengan jelas hal sebagai berikut.
a) Nama
dan alamat para pihak;
b) Penunjukan
kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
c) Perjanjian
atau masalah yang menjadi sengketa;
d) Dasar
tuntutan atau jumlah yang dituntut,apabila ada;
e) Cara
penyelesaian yang dikehendaki; dan
f) Perjanjian
yang diadakn oleh para pihak tentang jumlah arbitrase atau apabila tidak pernah
diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah
arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
Arbitrase
sebagai suatu perjanjian tentu memiliki karakteristik tersendiri, dalam arti
tidak dapat disamakan dengan perjanjian pada umumnya. Karakteristik dari
perjanjian arbitrase terdapat pada daya berlakunya sebagaimana yang diatur pada
Pasal 10 UU No. 30 Tahun 1999.
Sebagaimana
diatur pada Pasal 7 UU No. 30 Tahun 1999 bahwa “Para pihak dapta menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan
terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”, dapat
disimpulkan bahwa perjanjian untuk menggunakan arbitrase dapat dilakukan atau
dibuat oleh para pihak, sebagai berikut.
1. Pactum de compromittendo
adalah kesepakatan (akan) setuju dengan putusan arbitrase atau wasit, yang
dibuat sebelum terjadi sengketa di antara para pihak.
2. Compromise acte
adalah perjanjian yang disepakati oleh para pihak yang berjanji bahwa
perselisihan yang telah terjadi di antara mereka akan diselesaikan melalui
furom arbitrase, dan dalam hal ini telah terjadi sengketa di antara para pihak
dan mengenai penyelesaian sengketa tersebutbelum diperjanjikan atau disepakati
oleh para pihak dalam suatu perjanjian.
D.
Acara
Pemeriksaan Arbitrase
Proses
penyelesaian sengketa di lembaga arbitarase hamper sama dengan proses
penyelesaian sengketa di pengadilan negeri, yaitu adanya prosedur beracara.
Namun proses beracara di lembaga arbitrase jeuh lebih sederhana.
Karakteristik
dari lembaga penyelesaian arbitrase berbeda dengan karakteristik pengadilan
negeri. Perbedaan-perbedaan yang bersifat mendasar antara penyelesaian sengketa
pada lembaga arbitrase dan pengadilan negeri sebagai berikut.
a. Adanya
jaminan kerahasiaan sengketa para pihak.
b. Dapat
terhindar dari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif.
c. Para
piahak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman
serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan
adil. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya
serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
d. Putusan
arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui cara
sederhana saja ataupun prosedur langsung dapat dilaksanakan.
Para
pihak yang bersengketa juga dapat memilih tempat penyelesaian sengketa yang
terjadi akan diselesaikan sebagaimana diatur pada Pasal 37 ayat (1) UU No.30
Tahun 1999 bahwa tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter atau majelis atau majelis
arbitrase, kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak.
E.
Pendapat
dan Putusan
Arbiter atau
majelis arbitrase dalam memutuskan sengketa tidak hanyaberdasarkan pada
argument-argumen dan fakta-fakta yang diajukan para pihak, tetapi juga
berdasarkan pendapat saksi dan saksi ahli. Apabial arbiter atau majelis
arbitrase menganggap para pihak diperlukan kehadirannya pada saat dilakukan
pemeriksaan atas suatu barang yang dipersengketakan, para pihak akan dipanggil
secara sah untuk hadir pada pemeriksaan tersebut.
Putusan yang
diambil oleh arbiter atau majelis arbitrase dapat berdasarkan pada ketentuan
hukum yang berlaku atau berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan. Pada
penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 diterangkan sebagai berikut.
1. Pada
dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk menentukan bahwa arbiter
dalam memutuskan perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan
rasa keadilan dan kepatuhan (ex aequo et
bono).
2. Dalam
hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan
kepatuhan, maka peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi
dalam hal tertentu, hukum memaksa (dwingende
regels) harus diterapkan dan tidak dapat disampingi oleh arbiter.
3. Dalam
hal arbiter tidak diberi kewenangan untuk memberikan putusan berdasasrkan
keadilan dan kepatuhan, maka arbiter hanya dapat member putusan berdasarkan
kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim.
Putusan
dari lembaga arbitrase mempunyai kekuatan mengikat dan bersifat final sehingga
secara yuridis meniadakan hak dari masing-masing pihak yang bersengketa untuk
mengajukan banding ataupun upaya hukum lainnya. Mengenai hal-hal yang harus
dimuat dalam putusan arbitrase, Pasal 54 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan
sebagai berikut.
a. Kepala
putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
b. Nama
lengkap dan alamat para pihak.
c. Uraian
singkat sengketa.
d. Pendirian
para pihak.
e. Nama
lengkap dan alamat arbiter.
f. Pertimbangan
dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa.
g. Pendapat
tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis
arbitrase.
h. Amar
putusan.
i.
Tempat dan tanggal putusan.
j.
Tanda tangan arbiter atau majelis
arbitrase.
Putusan
arbitrase diucapkan dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan
atas sengketa tersebut ditutup. Dalam jangka waktu paling lama 14 hari setelah
putusan diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada
arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap putusan
tersebut.
Koreksi
terhadap putusan tersebut adalah koreksi terhadap kekeliruan administratif,
menambah, atau mengurangi tuntutan atas suatu putusan. Hal ini berbeda dengan
putusan pengadilan yang bersifet sepihak dan tidak dapat diganggu gugat karena
para pihak tidak diperkenankan mengubah atau mengoreksi putusan yang telah
diambil oleh hakim.
F.
Pelaksanaan
Putusan Arbitras
Pelaksanaan
putusan arbitrase terdiri atas dua jenis sebagai berikut.
1. Putusan
arbitrase nasional
2. Putusan
dari arbitrase internasional
Sebelum
putusan dari arbitrase nasional dilaksanakan, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah mendaftarkan putusan arbitrase tersebut ke panitera
pengadilana negeri. Pendaftaran putusan arbitrase tersebut harus
dilaksanakanpaling lama 30 hari sejak putusan diucapkan. Pendaftaran dilakukan
dengan menyerahkan lembar asli atau salinan otentik dalam arti salinan yang
telah dilegalisasi. Setelah salinan putusan tersebut diserahkan, akan dilakukan
pencatatan berupa akta pendaftaran.
Surat
perintah untuk menerima atau menolak putusan arbitrase akan dituangkan oleh
ketua pengadilan negeri dalam bentuk tertulis, yaknidi lember asli dan salinan
otentik dari putusan arbitrase yang dikeluarkan. Putusan yang dikeluarkan oleh
ketua pengadilan negeri tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dalam
arti dapat secara seketika dijalankan oleh masing-masing pihak.
Terhadap
putusan dari arbitrase internasional, yang berwenang untuk menangani masalah
pengakuan dan pelaksanaannya adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan hanya
dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia apabila memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 66 peraturan UU
No.30 Tahun 1999.
Agar
putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia, selain harus
memenuhi persyaratan Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999, pihak pemohon juga harus
menyampaikan berkas permohonan disertai persyaratan-persyaratan sebagaimana
ditentukan pada Pasal 67 ayat (2) UU No. 30 Tahuun 1999.
Ketua
pengadilan negeri memiliki hak menolak atau menerima permohonan pelaksanaan
arbitrase. Apabila permohonan tersebut ditolak oleh Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dan terhadap penolakan tersebut, pihak pemohon dapat mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung.
Dalam
jangka waktu 90 hari setelah permohonan tersebut diterima, Mahkamah Agung akan
memutuskan akan menerima atau menolak permohonan tersebut.terhadap putusan yang
diberikan oleh Mahkamah Agung, tidak dapat diajukan upaya perlawanan, misalnya
peninjauan kembali.
G.
Pembatalan
Putusan Arbitrase
Putusan
arbitrase merupakan keputusan yang bersifat final dan mengikat para pihak.
Meskipun demikian, keputusan arbitrase bukanlah keputusan yang tidak dapat
dimohonkan untuk dibatalkan. Syarat-syarat untuk dapat membatalkan keputusan
arbitrase diatur Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999, yaitu apabila putusan tersebut
diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut.
a. Surat
atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah dijatuhkan, diakui palsu
atau dinyatakan palsu.
b. Setelah
putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan
oleh pihak lawan.
c. Putusan
diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.
Putusan ketua pengadilan negeri atas
permohonan pembatalan putusan arbitrase dilakukan paling lama 30 hari sejak
permohonan pembatalan tersebut diterima. Terhadap putusan ini dapat dilakukan
upaya hokum, yakni pengajuan banding ke Mahkamah Agung sebagai lembaga yang
memutuskan pada tingkat pertama dan tingkat terakhir sehingga secara yuridis
meniadakan hak dari pihak yang
mengajukan banding untuk melakukan upaya hukum lain.
Terhadap permohonan banding tersebut,
Mahkamah Agung akan mempertimbangkan dan memutuskan menerima atau menolak dalam
jangka waktu 30 hari setelah permohonan banding diterima.
H. Lembaga-Lembaga Arbitrase
Berdasarkan sifatnya, arbitrase terdiri
dari dua macam sebagai berikut.
a.
Arbitrase
Ad-Hoc
Pengertian arbitrase ad-hoc adalah arbitrase yang
dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu.
Oleh karena itu arbitrase ad-hoc ini bersifat incidental. Dan apabila sengketa
telah diputus, arbitrase ad-hoc tersebut menjadi berakhir. Arbitrase ad-hoc
dilaksanakan oleh para pihak berdasarkan klausul pactum de compromittendo atau akta
compromise. Pada klausul ini dicantumkan apabila terjadi perselisihan, para
pihak telah bersepakat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut secara
arbitrase yang berdiri sendiri.
b.
Arbitrase
Institusonal
Lembaga arbitrase yang bersifat permanen dan
didirikan secara resmi yang menjalankan peran dan fungsinya sebagai lembaga
yang bergerak dibidang penyelesaian perselisihan di luar pengadilan. Arbitrase
institusional terdiri atas beberapa jenis sebagai berikut.
§ Arbitrase Institusional Nasional
Lembaga
arbitrase yang sengaja didirikan dengan bertujuan untuk kepentingan suatu
bangsa atau negara dan hanya memiliki yurisdiksi di wilayah bangsa atau negara.
Beberapa
arbitarse instutisional yang bersifat nasional yang ada di luar wilayah
Indonesia sebagai berikut.
a.
The Japan Commercial Arbitration
Association.
b.
The Netherlands Arbitrage Institute
c.
The America Arbitration Association
§ Arbitrase Institusional
Internasional
Lembaga
arbitrase yang menangani sengketa terhadap masalah tertentu dengan para pihak
adalah pihak yang berbeda kewarganegaraan.
Beberapa
arbitrase internasional tersebut adalah sebagai berikut.
a.
International Chamber of Commerce (ICC).
b.
International Center for Settlement of
Investment Disputes (ICSID).
c.
United Nations Commission on
International Trade Law (UNCITRAL).
§ Arbitrase Institusional Regional
Lembaga
arbitrase yang menangani sengketa untuk wilayah atau kawasan tertentu.
Arbitrase jenis ini didirikan dengan dasar bahwa Negara berkembang, sering
dalam posisi yang lemah karena arbitrase yang bersifat internasional pada
umumnya, dianggap lebih memihak kepada Negara maju. Untuk wilayah regional,
lembaga arbitrase yang dikenal adalah Asia-Africa Legal Consultative Commette
(AALCC).
BAB III
PENUTUP
Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, M. Yahya,Arbitrase,Jakarta:Sinar Grafika,
Jakarta, 2004
Mertokusumo,
sudikno, Mengenal hukum: Suatu Pengantar,
Yogyakarta: Liberty, 1999
Sembiring, Jimmy
Joses,Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar
Pengadilan, Jakarta: Visimedia, 2011