BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejarah
penafsiran al-Qur’an telah melewati berbagai fase yang panjang, rumit dan
kompleks. Awalnya, penafsiran merupakan usaha menemukan maksud yang sesuai
dengan teks, namun pada tahap selanjutnya proyeksi penafsiran terkontaminasi
dengan usaha menundukkan al-Qur’an demi kepentingan kelompok keagamaan dan
individu.
Nah, dari latar
belakang inilah lahirnya mazhab-mazhab pada awal penafsiran Al quran, yang mana
akan di bahas dalam makalah ini, yang mudah-mudahan akan dapat menambah wawasan
kita semua. amin
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mazhab
Awal Dalam Penafsiran
Sejarah
penafsiran al-Qur’an telah melewati berbagai fase yang panjang, rumit dan
kompleks. Awalnya, penafsiran merupakan usaha menemukan maksud yang sesuai dengan
teks, namun pada tahap selanjutnya proyeksi penafsiran terkontaminasi dengan
usaha menundukkan al-Qur’an demi kepentingan kelompok keagamaan dan individu.
Jika
diteliti, produk-produk penafsiran al-Qur’an dari generasi ke generasi memiliki
corak dan karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh banyak
faktor, antara lain adalah adanya perbedaan situasi sosio-historis di mana
seorang mufassir hidup. Bahkan situasi politik yang terjadi ketika mufassir
melakukan kerja penafsiran juga sangat kental mewarnai produk-produk
penafsirannya. Tidak berlebihan jika Micheil Fucoult pernah menyatakan suatu
tesa bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari adanya
relasi kekuasaan/politik.
Di
samping cakupan makna yang dikandung oleh al-Qur’an memang sangat luas,
perbedaan dan corak penafsiran itu juga disebabkan perbedaan keahlian yang
dimiliki oleh masing-masing mufassir. Al-Qur’an itu memang merupakan kitab yang
yahtamil wujuh al-ma’na (mengandung kemungkinan banyak penafsiran). Sehingga
adanya pluralitas penafsiran al-Qur’an adalah sah-sah saja, sepanjang dapat
dipertanggung-jawabkan secara moral dan ilmiah. Penafsiran itu dapat
diibaratkan sebuah “organisme” yang selalu tumbuh dan berkembang. Ia akan
selalu mengalami perubahan dan perkembangan seiring dan senafas dengan kemajuan
tantangan yang dihadapi manusia.
Disinilah
kelebihan Ignaz Goldziher, dengan kritis dan objektif menjelaskan berbagai
upaya kelompok-kelompok keagamaan atau individu untuk menafsirkan al-Qur’an,
sejak jaman klasik sampai jaman awal kedatangan dunia modern, serta membongkar
motif-motif kepentingan yang tertuang dalam penafsiran mereka.
Dalam
setiap sirkulasi sejarah Islam, pemikiran yang muncul senantiasa cenderung
mencari justifikasi kebenaran bagi dirinya untuk menunjukkan kesesuaian
pemikirannya dengan Islam dan dengan apa yang dibawa oleh Rasulallah. Sebab
dengan begitu, maka pemikiran tersebut akan mendapat posisi yang kuat di hati
para pengikutnya dalam sistem keberagamaan mereka.
Kecenderungan
ini dan interaksinya dengan penafsiran secara otomatis merupakan wadah bagi
tumbuhnya penulisan tafsir aliran yang kemudian pada episode selanjutnya
menjadi persaingan dengan penafsiran yang panjang lebar, baik dalam uraian
maupun cakupannya.
Munculnya Madzahib al-Tafsir, sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan
sejarah, sebab setiap generasi selalu menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman
hidup, bahkan kadang-kadang sebagai legitimasi bagi tindakan dan
kepentingannya.
Al-Qur’an
sendiri memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable), dan
masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an biasanya juga dipengaruhi
oleh kondisi sosio-kultural di mana ia tinggal, bahkan situasi politik yang
melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Di samping itu, ada kecenderungan
dalam diri seorang mufassir untuk memahami al-Qur’an sesuai dengan disiplin
ilmu yang ia tekuni, sehingga meskipun objek kajiannya tunggal, yaitu teks
al-Qur’an, namun hasil penafsiran al-Qur’an tidaklah tunggal, melainkan plural.
Oleh karenanya, munculnya Madzahib al-Tafsir tidak dapat dihindari dalam
sejarah pemikiran umat Islam. Ia merupakan keniscayaan sejarah.
B.
Sejarah
Tafsir Dan Mazhab
Perkembangan
tafsir tidak lepas dari perkembangan ilmu fiqih, usul fiqih dan perkembangan
mazhab. Di zaman Rasulullah saw., sumber hukum Islam hanya ada dua, yaitu
Al-Qur’an dan sunnah. Apabila muncul suatu peristiwa yang membutuhkan keputusan
hukum, keputusan dapat langsug diperoleh dari Rasulullah saw. sebagai pemegang
otoritas sunnah. Dalam menetapkan hukum yang tidak ada ketentuannya dalam
Al-Qur’an, Rasulullah saw. menetapkannya melalui ijtihad. Cara-cara Rasulullah
saw. berijtihad inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu usul fiqih. Para ulama
usul fiqih berpendapat bahwa usul fiqih ada bersamaan dengan hadirnya fiqih,
yaitu sejak zaman Rasulullah saw.
Pada era sahabat bibit tersebut semakin jelas, karena wahyu telah terhenti dan
Rasulullah saw. telah wafat, sementara persoalan-persoalan yang dihadapi terus
berkembang. Tokoh-tokoh mujtahid yang termasyhur di zaman sahabat di antaranya
adalah Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud.
Persebaran sahabat ke berbagai daerah yang berbeda budaya dan kondisi
geografisnya berpengaruh terhadap ijtihad dan penetapan hukum yang mereka
lakukan. Konsekuensinya, dalam kasus yang sama, hukum di suatu daerah dapat
berbeda dengan daerah lainnya. Perbedaan ini berawal dari perbedaan cara
pandang dalam menetapkan hukum pada kasus tersebut.
Di
antara penafsiran yang diriwayatkan oleh para sahabat ada yang bersumber dari
Rasulullah saw. dan ada yang bersumber dari pendapat mereka sendiri. Namun
demikian, dalam memahami Al-Qur’an mereka senantiasa berpegang pada penafsiran
yang diberikan oleh Rasulullah yang diterima secara langsung ataupun tidak
langsung, melalui asbab an-nuzul dan dengan penalaran serta ijtihad.
Di
zaman tabi’in, terdapat sekelompok ulama yang menaruh perhatian khusus terhadap
tafsir. Mereka meriwayatkan tafsir dari Rasulullah saw dan sahabat di samping
dengan ijtihad mereka sendiri. Pada era ini permasalahan yang muncul semakin
kompleks. Para tabi’in yang berada di daerah-daerah yang berbeda melakukan
ijtihad dan menghasilkan keputusan yang terkadang juga berbeda. Di Madinah
tampil Sa’id bin al-Musayyab sebagai mujtahid. Di Irak Alqamah bin Waqqas,
al-Laits dan Ibrahim al-Nakha’i. di Bashrah muncul Hasan al-Bashry.
Gejolak
politik dan perkembangan pemikiran keagamaan telah mendorong munculnya
mazhab-mazhab yang mencakup berbagai aspek keagamaan. Di awal perkembangan
Islam, gejolak politik dan konflik keagamaan melahirkan tiga kekuatan utama,
yaitu kekuatan Alawiyyin (pendukung Ali) vis a vis kekuatan Umayyah (pendukung
Mu’awiyah), dan kelompok Murji’ah yang mengisolasi diri dari konflik. Peristiwa
tahkim dinilai sebagai titik tolak perpecahan kekuatan di belakang Ali, dan
munculnya aliran Syi’ah dan Khawarij.
Kelanjutan konflik dan keberhasilan Muawiyah menjadi khalifah, suksesi
kekhalifahan Bani Umayyah dan kesewenang-wenangan birokrasi pemerintahan
khalifah dalam menjalankan roda pemerintahan telah mengantarkan umat Islam dan
para pemikir, dengan paradigmanya, kepada perdebatan teologis yang pada
gilirannya melahirkan mazhab-mazhab kalam. Perbedaan persepsi tentang orang
yang melakukan dosa besar merupakan penyebab utama munculnya mazhab Mu’tazilah
dan Asy’ariyyah.
Pada
perkembangannya, perbedaan mendasar antara Mu’tazilah dan Asy’ariyyah terletak
pada persoalan akal, apakah ia lebih dahulu daripada syari’at ataukah akal
mengikuti ketetapan syari’at. Kalangan Asy’ariyyah berpendapat Ignaz Goldziher
membagi sejarah dan perkembangan tafsir menjadi tiga periode.
1. Tafsir
pada masa perkembangan madzhab-madzhab yang terbatas pada tempat berpijak
Tafsir bi al-Ma’tsur.
Pada
masa awal Islam, para sahabat menafsirkan al-Qur’an dengan pemahaman mereka
tentang bahasa Arab dan pengetahuan mereka tentang Azbabun Nuzul. Jika terjadi
kemusykilan berkaitan dengan makna al-Qur’an, mereka merujuk langsung kepada
nabi. Begitu pula para tabi’in, mereka belajar kepada para sahabat dan
mengambil banyak tentang tafsir disamping pengetahuan mereka akan bahasa Arab,
kemampuan mereka sangat baik dalam memahami bahasa Arab.
Pada mulanya tafsir diriwayatkan dari seorang kepada seorang lainnya. Para
sahabat meriwayatkan tafsir dari nabi, kemudian para tabi’in meriwayatkan dari
sahabat dan meriwayatkannya kepada generasi selanjutnya dan begitulah
seterusnya.
Menurut Ignaz Goldziher, disyaratkannya bagan (sanad) Hadits merupakan poin
yang cukup diperhitungkan dalam wilayah ilmu-ilmu keagamaan dan secara khusus
untuk memberikan parameter dalam bidang tafsir. Tafsir bi al-Ma’tsur adalah
tafsir yang dapat disaksikan keshahihannya, yakni tafsir yang didasarkan pada
“ilmu” atau tafsir yang dapat ditetapkan bahwa nabi sendiri atau para
sahabatnya bersentuhan langsung dalam wilayah pengajaran hal itu dan telah
menjelaskannya dengan penjelasan makna al-Qur’an dan dalalahnya. Karena sudah
sangat jelas, nabi sendiri sering ditanya tentang makna kosakata dan ayat
al-Qur’an, lantas beliau menjelaskan itu semua. Demikianlah beliau tidak
menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan pendapatnya sendiri, tetapi beliau
menerima tafsirnya dari malaikat Jibril yang mengajarkan kepada beliau dengan
nama Allah (dengan riwayat dari Allah).
Disini
Ignaz Goldziher secara eksplisit membatasi Tafsir bi al-Ma’tsur hanyalah tafsir
pada masa nabi dan masa sahabat. Hal ini sepaham dengan apa yang disampaikan
oleh al-Zarqani yang membatasi pada tafsir yang diberikan oleh ayat-ayat
al-Qur’an, sunnah dan para sahabat. Namun sebagian ulama tidak sepakat dengan
batasan tersebut. Para ulama ada yang memasukkan tafsir generasi Tabi’in dalam
cakupan Tafsir bi al-Ma’tsur.
Pada
fase ini yang paling mengemuka adalah mengenai perdebatan seputar tata cara
bacaan al-Qur’an. Dimana banyaknya ragam bacaan al-Qur’an merupakan topik yang
sangat panas pada saat itu. Pertarungan argumen tentang cara baca yang benar
membentuk mazhab-mazhab yang saling klaim bahwa bacaan merekalah yang paling
benar.
Munculnya
perdebatan seputar bacaan al-Qur’an pada masa ini menurut Ignaz Goldziher tidak
lain merupakan usaha untuk menjaga, melestarikan dan menegakkan kitab suci ini.
Ragam bacaan mencerminkan usaha untuk menafsirkan firman Tuhan, karena pada
tahap selanjutnya memiliki implikasi yang sangat jauh dalam memahami dan
memaknai teks al-Qur’an.
2. Tafsir
pada masa perkembangannya menuju madzhab-madzhab ahli ra’yi yang meliputi
aliran akidah (teologis), aliran tasawuf, dan aliran politik keagamaan.
Pada fase ini orientasinya tidak lagi untuk menjaga keotentikan dan penafsiran
yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan al-Qur’an, tetapi lebih berorientasi
pada bagaimana penafsiran al-Qur’an ini dapat melegitimasi kelompok-kelompok
tertentu, seperti aliran akidah (teologis), aliran tasawuf, bahkan penafsiran
al-Qur’an ini menjadi tunggangan aliran politik keagamaan tertentu.
Dalam
pandangan Ignaz Goldziher pada generasi terdahulu telah terjadi perpecahan
dalam tafsir al-Qur’an bi al-Ma’tsur. Perpecahan ini pada awalnya tidak
dimaksudkan agar penafsiran mereka menyimpang dari karakter riwayat dan naql.
Perpecahan ini pertama kali terjadi dari kaum rasionalis yaitu sekelompok orang
pemeluk suatu mazhab keagamaan yang hendak menafikan segala bentuk konsepsi
seorang muslim dalam keyakinannya tentang uluhiyah (ketuhanan), baik itu
hakikatnya atau tatanan ketuhanan lainnya, dan semua hal yang menyingkirkan
peran akal. Karena kalau tidak demikian, maka posisi ketuhanan akan turun
drastis sampai pada wilayah material yang sangat tidak layak. Kelompok ini juga
berusaha menghilangkan semua ikhtiar yang bertentangan dengan tuntutan hikmah
dan keadilan. Tentu dapat ditebak bahwa kelompok ini adalah adalah kaum
Mu’tazilah.
Tafsir bi Ra’yi adalah tafsir yang didalam menjelaskan maknanya atau maksudnya,
mufassir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan (istinbath)
pun didasarkan pada logikanya semata. Kategori penafsiran seperti ini di dalam
memahami al-Qur’an tidak sesuai dengan ruh syari’at yang didasarkan pada
nash-nashnya. Rasio semata yang tidak disertai bukti-bukti akan berakibat pada
penyimpangan terhadap Kitabullah.
Selain
itu, pemahaman akan al-Qur’an terutama didekatkan pada pendekatan
filologis-gramatikal. Pendekatan ayat per ayat atau kata per kata ini tentunya
menghasilkan pemahaman yang parsial (sepotong) tentang pesan al-Qur’an. Bahkan,
sering terjadi penafsiran semacam ini secara keterlaluan menanggalkan ayat dari
konteks dan aspek kesejarahannya untuk membela sudut pandang tertentu. Dalam
kasus-kasus tertentu seperti dalam pandangan akidah (teologis), filosofis dan
sufistis, gagasan-gagasan asing sering dipaksakan ke dalam al-Qur’an tanpa
memperhatikan konteks kesejarahan dan kesusastraan al-Qur’an.
3. Tafsir
pada masa perkembangan kebudayaan/keilmuan Islam yang ditandai dengan timbulnya
pemikiran baru dalam keislaman oleh Ahmad Khan, Jamalauddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.
Menurut
kacamata Ignaz Goldziher, permasalahan antara kebudayaan dan Islam merupakan
permasalahan yang bertolak belakang, dan jawaban dari keduanya sudah diupayakan
sejak lama oleh kebanyakan tradisi keilmuan yang beragam dalam dunia Islam,
baik secara teoritis maupan ilmiah. Islam selama ini tidak dianggap sebagai
ajaran yang mengabaikan tujuan dasar untuk kemajuan rasional dan kemajuan
sosial, kecuali disebabkan karena adanya pengaruh keagamaan yang keliru dan
bentuk-bentuk penafsiran yang salah dari para ulama mutakhir.
Penyelewengan
ajaran Islam itulah yang selama ini menjadi penyebab utama adanya paradoks bagi
makna dan hakikat Islam berupa tidak adanya mobilisasi Islam ke arah paradigma
kebudayaan modern. Nilai-nilai etis secara final ditetapkan bagi segala urusan
yang tidak memiliki relevansi kecuali hanya sebatas temporal-relatif; sementara
kewajiban-kewajiban dicanangkan, dengan kebenaran syari’at (legitimasi agama)
yang tidak bisa menerima perubahan dan pergantian. Inilah yang menyebabkan
kejumudan kehidupan dalam Islam, dan kekhurafatan (mitos) menampakkan diri
hadapan dunia nyata yang asing, yaitu bahwa klaim tentang kesempurnaan Islam
barangkali menyerupai sebuah wilayah empat persegi (terbatas). Seandainya
masalah-masalah yang memiliki nilai relatif-temporal di dalam Islam itu
dipahami secara proporsional, artinya didasarkan pada nilai-nilai
relatif-temporalnya – begitu juga segala sesuatu itu tidak harus selalu
dikembalikan kepada akidah dan moralitas, tetapi kepada prinsip-prinsip dasar
sosial, ekonomi dan konstitusional, sebagaimana ia dikembalikan kepada
pengetahuan ilimiah – tentu umat Islam tidak akan menjadi batu sandungan bagi
sistem sosial yang selalu menuntut adanya dinamisasi dan kesinambungan zaman
yang selalu berubah, bukan sekedar menawarkan produk-produk pemikiran belaka.
Secara
spesifik, menurut Ignaz Goldziher, Islam tidak bertolak belakang dengan
kemajuan ilmu, karena jika bertolak belakang maka berarti Islam itu bertentangan
dengan semangat pembawanya. Padahal Muhammad adalah nabi yang sangat menghargai
pentingnya pola pemikiran dengan akal, sebagai karya manusia yang paling tinggi
dan mulia.
C.
Pandangan
Para Ulama
Para
ulama berbeda-beda dalam memetakan mazhab tafsir. Ada yang membagi perkembangan
tafsir menjadi empat periode, yaitu pertama, periode Rasulullah SAW.; kedua,
periode mutaqaddimin; ketiga, periode mutaakhirin; dan keempat, periode modern
(al-‘Asri).
Ada juga yang membagi berdasarkan periodesasinya atau kronologis waktunya,
sehingga menjadi mazhab tafsir periode klasik, pertengahan, modern atau
kontemporer. Ada pula yang berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul mazhab
teologi mufassiranya, sehingga muncul istilah tafsir Sunni, Mu’tazili, Syi’i,
dan lain sebagainya. Ada pula yang melihat dari sisi perspektif atau pendekatan
yang dipakainya, sehingga muncul istilah tafsir sufi, falsafi, fiqhi, ‘ilmi,
adabi ijtimai’ dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang melihat dari
perkembangan pemikiran manusia, sehingga mazhab tafsir itu dapat dipetakan
menjadi mazhab tafsir yang periode mitologis, ideologis, dan ilmiah.
M.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an melalui
penafsiran-penafsirannya mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya
umat. Sekaligus penafsiran-penafsiran tersebut dapat mencerminkan perkembangan
serta corak pemikiran mereka.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam
disiplin keilmuan apapun, mulai dari ilmu Tafsir, Tasawuf, Filsafat, dan
ilmu-ilmu umum lainnya, selalu ada yang namanya mazhab atau aliran. Munculnya
Madzahib al-Tafsir atau aliran-aliran dalam penafsiran al-Qur’an sesunguhnya
merupakan salah satu bentuk pluralitas dalam memahami al-Qur’an yang disebabkan
oleh adanya dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang tak terbatas.
Mengkaji
Madzahib al-Tafsir secara baik akan menjadikan kita lebih dewasa dalam
menyikapi perbedaan-perbedaan penafsiran yang ada, sehingga kita tidak perlu
menganggap final suatu penafsiran, apalagi memutlakkan kebenaran dari hasil
penafsiran seseorang, sebab yang mutlak dan absolut sesungguhnya hanya Allah.
Apapun hasil penafsiran adalah relatif kebenarannya.
Ignaz
Goldziher membagi fase sejarah dan perkembangan tafsir menjadi tiga periode.
Dimana tiga fase ini merupakan kesimpulan dari karyanya yang berjudul Mazhab
Tafsir yang diterjemahkan dari bukunya yang berbahasa Arab Madzahib al-Tafsir
al-Islami, yaitu: Periode pertama, Tafsir pada masa perkembangan
madzhab-madzhab yang terbatas pada tempat berpijak Tafsir bi al-Ma’tsur. Periode
kedua, Tafsir pada masa perkembangannya menuju madzhab-madzhab ahli ra’yi yang
meliputi aliran akidah (teologis), aliran tasawuf, dan aliran politik
keagamaan. Dan periode ketiga, Tafsir pada masa perkembangan
kebudayaan/keilmuan Islam yang ditandai dengan timbulnya pemikiran baru dalam
keislaman oleh Ahmad Khan, Jamalauddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad
Rasyid Ridha.
Pada
periode ini juga munculnya karya-karya tafsir di Nusantara tidak lepas dari
unsur-unsur kepentingan yang mewarnai sedikit banyaknya tafsir yang
ditafsirkan. Islah Gusmian membagi penafsiran dlihat dari unsure kepentingan
menjadi kepada 4 tema; a). Tafsir di tengah rezim islam klasik, b). Tafsir di
tengah kampanye kesetaraan gender, c). Tafsir di tengah rezim orde baru dan d).
Tafsir di tengah keragaman agama.
DAFTAR PUSTAKA
andromedazone.blogspot.com/…/mazhab-tafsir-ignaz-goldziher
Labels: Kuliah