Met pagi sobat blogger, selamat berkatifitas kembali dah buat semua sahabat blogger! pagi yang cerah ini saya akan menuliskan mengenai salah satu kajian Ushul Fiqih, yaitu "urf, apa yaa 'urf itu? oke kita bahas di bawah ini, selamat membaca sobat blogger.
Secara etimologi, urf berarti
“yang baik”. Para ulama ushul fiqih membedakan antara adat dengan Urf dalam
membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’.
Adat di definisikan dengan : “ sesuatu yang di kerjakan berulang-ulang tanpa
adanya hubungan rasional”.
Definisi ini menunjukkan bahwa
apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal,
tidak di namakan adat. Definisi ini juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup
persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, orang banyak,
dan bisa juga dari sebab alami, hawa nafsu dan kerusakan akhlak.
Adapun Urf menurut ulama ushul
fiqih adalah kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.
Berdasarkan definisi ini, Musthafa Ahmad al-Zarqa’ mengatakan bahwa Urf
merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari urf. Suatu urf
menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada
pribadi atau kelompok tertentu dan urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana
yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan
pengalaman. Yang di bahas para ulama Ushul fiqih, dalam kaitannya dengan salah
satu dalil hukum syara’ adalah urf, bukan adat.
Para ulama Ulama Ushul fiqih
membagi ‘Urf atas tiga bagian, yaitu:
- Di
tinjau dari segi sifatnya ‘urf terbagi atas 2 macam :
- ‘Urf qauli, ialah ‘urf yang berupa perkataan
atau kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan, seperti
perkataan walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak
laki-laki dan anak perempuan.
- ‘Urf amali, ialah ‘urf berupa perbuatan, seperti
kebiasaan jual-beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual-beli.
Padahal menurut syara’, shighat jual-beli itu merupakan salah satu rukun jual
beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan
jual-beli tanpa shighat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak di
inginkan, maka syara’ membolehkannya.
- Di
tinjau dari segi diterima atau tidaknya ‘Urf, terbagi atas:
- ‘Urf shahih, ialah urf yang baik dan dapat di
terima karena tidak bertentangan dengan syara’. Seperti mengadakan pertunangan
sebelum melangsungkan akad nikah, di pandang baik, telah menjadi kebiasaan
dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.
- ‘Urf fasid, ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak
dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’. Seperti kebiasaan mengadakan
sesajian untuk sebuah patung atau suatu
tempat yang dipandang keramat.
- Di tinjau dari segi ruang lingkup berlakunya,
Urf terbagi 2 macam :
- ‘Urf
‘aam, ialah urf yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan, seperti
memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita,
mengucapkan terima kasih kepada orang lain yang telah membantu kiata dan
sebagainya.
- ‘Urf
Khash, ialah urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu
saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa di lakukan oleh Bangsa
Indonesia yang beragama islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa
Ramadhan, sedang pada Negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.
Selanjutnya mengenai kehujjahan urf, Para ulama Ushul
fiqih sepakat bahwa ‘urf Shahih, yaitu urf yang tidak bertentangan dengan
syara’, baik yang menyangkut ‘urf ‘aam dan ‘urf khash, maupun yang berkaitan
dengan ‘urf lafzhi dan ‘urf amali, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum syara.
Dari barbagai kasus
‘urf yang di jumpai, para ulama Ushul fiqih merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang
berkaitan dengan ‘urf, di antaranya adalah :
- Adat
kebiasaan itu bisa menjadi hukum.
- Tidak
diingkari perubahan hukum disebabkkan perubahan zaman dan tempat.
- Yang
baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang diisyaratkan itu menjadi syarat.
- Yang
di tetapkan melalui ‘urf sama dengan yang di tetapkan melalui nash (ayat atau
hadist).
Para ulama ushul fiqih
juga sepakat bahwa hukum-hukum yang di dasarkan kepada ‘urf bisa berubah sesuai
dengan perubahan masyarakat pada zaman tertentu dan tempat tertentu.
Syarat-syarat 'Urf : Para ulama ushul
fiqih menyatakan bahwa suatu ‘urf, baru dapat dijadikan sebagai suatu dalil
dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- ‘Urf
itu (baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan),
berlaku secara umum. Artinya ‘urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang
terjadi di tengah-tengah masyrakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas
masyarakat tersebut.
- ‘Urf
itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul.
Artinya, ‘Urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum
kasus yang akan di tetapkan hukumnya.
- ‘Urf
itu tidak bertentangan dengan yang di ungkapkan secara jelas dalam suatu
transaksi.
- ‘Urf
itu tidak bertentangan dengan Nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung
nash itu tidak bisa diterapkan. ‘Urf seperti ini tidak dapat di jadikan dalil
syara’, karena kehujjahan ‘urf bisa diterima apabila tidak ada nash yang
mengandung hukum permasalahan yang di hadapi.
Oke Sobat blogger, saya kira ini sudah cukup untuk pembahasan mengenai "Urf, Semoga bermanfaat buat sobat blogger!