Dalam definisi perkawinan telah dijelaskan, bahwa perkawinan itu suatu bentuk perjanjian kedua belah pihak yang dengan perjanjian itu hubungan laki-laki dan perempuan yang selama ini haram menjadi terbuka dan boleh atau halal.Namun, dalam membangun rumah tangga tidak selalu berjalan mulus, selalu saja ada masalah yang menjadi ujian dalam sebuah perkawinan.Namun, dalam hal demikian banyak yang tidak bisa mengatasi ujian tersebut, sehingga dengan mudah kata talakterkeluar dari mulut suami.
Dengan telah terucapnya kata “talak” dari mulut sang suami, maka perceraian terjadi ketika itu juga, maka berarti perjanjian atau akad yang dibuat sebelumnya tidak berlaku lagi. Untuk selanjutnya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi boleh itu telah berakhir namun belum putus dalam arti sebenarnya selama masih dalam masa iddah.
Setelah kata talak itu terucap dari sang suami, maka tidak sedikit suami menyelasali kata-katanya itu dikemudian hari, seihingga dia hendak meruju’ istri yang telah ditalaknya itu. Dan Islam membenarkan hal demikian melalui ruju’, selama sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan melalui syariatnya.
Melalui ruju’ Islam mengembalikan kehidupan laki-laki dan perempuan yang sudah terpisah karena perceraian kepada bentuk semula setelah adanya akad perkawinan.Namun untuk maksud kembali ini tidak diperlukan adanya akad perkawinan baru, tetapi melanjutkan ikatan perkawinan yang sudah terhenti.
Ruju’ menurut bahasa Arab, kata ruju’ berasal dari kata raja’a-yarji’u-ruju’an yang berarti kembali, dan mengembalikan. Dalam istilah hukum Islam, para fuqaha mengenalkan istilah “ruju’” dan istilah “raj’ah” yang keduanya sama makna. Ulama As-Syafi’i, memberi definisi ruju’ sebagai berikut: “ Ruju’ ialah mengembalikan status hukum perkawinan sebagai suami istri ditengah-tengah masa iddah setelah terjadinya talak (raj’i)”.
Sedangkan definisinya dalampengertian fiqih menurut al-Mahalli ialah: kembali kedalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan bain, selama dalam masa iddah.Dari definisi-definisi tersebut di atas terlihat beberapa kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perbuatan hukum yang bernama ruju’ itu.
Pertama:kata atau ungkapan “kembalinya suami kepada istri” Hal ini mengandung arti bahwa di antara keduanya sebelumnya pernah terjalin dalam ikatan perkawinan, namun ikatan tersebut sudah berakhir dengan perceraian.
Kedua: ungakapan atau kata “yang telah ditalak dalam bentuk raj’i”, mengandung arti bahwa istri yang bercerai dari suaminya itu dalam bentuk yang belum putus atau bain. Hal ini mengandung maksud bahwa kembali kepada istri yang belum dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk talakraj’i, tidak disebut ruju’.
Ketiga: kata atau ungkapan “masih dalam masa iddah”, mengandung arti bahwa ruju’ itu terjadi selama istri masih berada dalam masa iddah. Sehingga, bila masa iddah telah habis, mantan suami tidak dapat lagi kembali kepada istrinya dengan nama ruju’.Dalam hal demikian, suami harus memulai lagi dengan akad yang baru.
Dari rumusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan terjadinya talak antara suami istri hubungan seksual antara keduanya.Dengan terjadinya talakraj’I, maka kekuasaan bekas suami terhadap istri menjadi berkurang, namun masih ada pertalian hak dan kewajiban antara keduanya selama istri masih dalam masa iddahnya.
Hak prioritas meruju’ itu adalah hak penuh seorang suami yang mentalak istrinya (bain) sebelum habis masa iddanya, namun hak meruju’ itu menjadi hilang apabila berakhirnya masa iddah yang dimaksud.Hak meruju’ ini diatur berdasarkan firman Allah dalam suarah Al-Baqarah ayat 228:
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah”.
Tidak dibenarkan bekas suami mempergunakanh hak merujuk itu dengan tujuan yangb tidak baik, misalnya, menggunakan hak rujuknya untuk menyengsarakan istrinya, atau untuk mempermainkannya. Sebab dengan demikian, bekas suami berbuat aniaya atau berbuat zalim, sedangkan, berbuat zalim itu diharamkan. Allah swt.berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 231 menyatakan:
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka[145]. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri).
Hukum dan Dasar Hukum Ruju'
Dalam satu sisi ruju’ itu adalah membangun kembali kehidupan perkawinan yang terhenti atau memasuki kembali kehidupan perkawinan.Kalau membangun pertama kali disebut perkawinan, maka melanjutkannya disebut ruju’.Hukum ruju’ dengan demikian sama dengan hukum perkawinan, dalam menundukkan hukum asal dari ruju’ itu ulama berbeda pendapat.Jumhur ulama mengatakan bahwa ruju’ itu adalah sunnah. Dalil yang yang digunakan jumhur ulama dengan mencermati firman Allah swt.dalam surah al-Baqarah ayat 228-229.
Selanjutnya Beni Ahmad Saebani, membagi hukum ruju’ ada lima macam, yaitu:
Wajib, terhadap suami yang menalak salah seorang isterinya sebelum dia sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak.
Haram, apabila ruju’nya itu menyakiti si istri.
Makruh, kalau perceraian lebih baik bagi mereka berdua (suami-istri).
Jaiz(boleh), ini adalah hukum ruju’ yang asli.
Sunnah, jika maksud suami adalah untuk memperbaiki keadaan istrinya, atau ruju’ itu lebih banyak mengandung mashlahatnya bagi keduanya.
Berkenaan dengan hukum asal ruju’, ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa hukumnya adalah wajib, karena menurut mereka demikian pula hukum asal pada perkawinan, bahkan bentuk wajib pada ruju’ disini lebih kuat karena adanya sifat mengukuhkan perkawinan.
Rukun dan Syarat Ruju’
Dalam ruju’ ada unsur-unsur yang disepakati oleh ulama adalah: ucapan atau shigatruju’, lelaki yang meruju’ dan perempuan yang diruju’.
Lelaki yang meruju’. Adapun syarat bagi laki-laki yang meruju’ itu adalah sebagai berikut:
Laki-laki itu adalah suami bagi perempuan yang diruju’ yang menikahinya dengan nikah sah.
Laki-laki itu mesti harus seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat akalnya dan bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang yang masih belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak Sah ruju’ yang dilakuklannya. Begitu juga bila dilakukan atas paksaan orang lain tidak sah ruju’nya.
Perempuan yang dirujuk. Adapun syarat sahnyaruju’ bagi perempuan yang diruju’ itu adalah:
Istri yang sah dari laki-laki yang meruju’.
Istri itu telah diceraikan dengan bentuk thalakraj’iy.
Masih berada dalam masa iddahthalakraj’iy.
Dan istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu.
Adapun ucapan ruju’ yang diucapkan.
Ruju’ dalam pandangan fikih adalah tindakan sepihak dari suami.Tindakan sepihak itu didasarkan kepada pandangan ulama fikih, bahwa ruju’ itu merupakan hak khusus seorang suami.Adanya hak khusus itu dipahami dari firman Allah swt.dalam surah al-Baqarah ayat 228 yang artinya: “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah”.
Oleh karena sifatnya yang sepihak itu tidak diperlukan penerimaan dari pihak perempuan yang diruju’, atau walinya.Dengan begitu ruju’ tidak dilakukan dalam bentuk akad.Untuk sahnya tindakan ruju’ hanya diperlukan ucapan ruju’ yang dilakukan oleh orang yang meruju’.
Selanjutnya Ahmad Saebani, membagi sighatruju’ itu kepada dua:
Terang-terangan, misalnya dikatakan, “Saya kembali kepada istri saya” atau “Saya ruju’ istri saya” dan yang senada dengannya .
Melalui sindiran, seperti “saya pegang engkau” dan sebagainya.
Selanjutnya, Ahmad Saebani menambahkan sebaiknya sighat itu merupakan perkataan tunai, artinya kalimatnya tidak digantungkan dengan sesuatu.Umpamanya dikatakan, “saya kembali kepadamu apabila si fulan datang”.Sebab, ruju yang digantungkan itu tidak sah.
Adapun dalam hal ruju’ dengan perbuatan,terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Juhmhur ulama, termasuk didalamnya Imam Syafi’I dan Imam Ahmad berpendapat, bahwa ruju’ dilakukan harus dengan ucapan tidak dapat hanya dengan perbuatan.Kecuali bila dia orang yang bisu, maka untuk itu ruju’ dilakukan dengan isyrat yang dapat dipahami.
Selanjutnya, sebagian ulama diantaranya Sa’idIbnMusayyab, al-Hasan, IbnuSirin dan sebagian Hanafiyah, berpendapat bahwa ruju’ harus dilakukan dengan perbuatan secara mutlak.Demikian pula yang berlaku dikaalangan ulama Syi’ahImamiyah.Sedang, ulama Malikiyah membolehkan ruju’ dengan perbuatan, bila yangh demikian dimaksud dan diniatkan untuk ruju’, tanpa diiringi dengan niat tidak sah ruju’ dengan perbuatan.
Ulama yang memboehkanruju’ dengan perbuatan itu juga beda pendapat tentang perbuatan apa yang dapat diartikan sebagai ruju’. Namun kebanyakan ulama yang membolehkan ruju’ dengan perbuatan membatasi perbuatan itu dengan hubungan kelamin.Artinya bila telahterjadi hubungan kelamin, maka yang demikian telah berlaku ruju’.
Silang pendapat antara Malik dan Abu Hanifah itu dikarenakan Abu Hanifah berpendapat bahwa ruju’ itu mengakibatkan halalnya pergaulan karena disamakan dengan istri yang tetkenaila’ dan istri yanhg terkena zhihar, disamping karena hak milik atas istri belum terlepas daripadanya, dan karena terdapat hubungan saling mewarisi antara keduanya. Sedang Malik berpendapat menggauli istri yang tertalakraj’i adalah haram hingga suami meruju’nya.Oleh karena itu harus diperlukan dengan niat.
Saksi Dalam Ruju’
Tentang kesaksian dalam ruju’ ulama berbeda pendapat.Sebagian ulama termasuk salah satu drai pendapat Imam Syafi’i mensyaratkan adanya kesaksian dua orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam akad nikah, dan beliau mewajibkannya. Sedangkan Malik berpendapat bahwa ia disunnahkan.keharusan adanya saksi ini bukan dilihat dari segi ruju’ itu memulai nikah atau melanjutkan nikah, tetapi karena adanya perintah Allah untuk itu sebagaimana terdapat dalam surah at-Tholaq ayat 2:
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkankesaksian itu karena Allah”.
Menurut ulama ini adanya perintah untuk mempersaksikanruju’ dalam ayat tersebut menunjukkan wajib. Berdasarkan pendapat yang mensyaratkan adanya saki dalam ruju’, maka ucapan ruju’ tidak boleh menggunakan lafazkinayah, karena penggunaan lafazkinayah memerlukan adanya niat, sedang saksi yang hadir tidak akan tahu niat dalam hati.
Pendapat kedua yang berlaku dikalanganjumhur ulama, diantaranya Imam Ahmad mengatakan bahwa ruju’ itu tidak perlu dipersaksikan, karena ruju’ itu hanyalah melanjutkan perkawinan yang terputus dan bukan memulai nikah yang baru.Perintah Allah tersebut diatas bukanlah untuk wajib.Menurut ulama Syi’ahImamiyahmempersaksikanruju’ itu hukumnya hanyalah sunat.Berdasarkan pendapat ini, boleh saja ruju’ dengan menggunakan lafazkinayah karena saksi yang perlu mendengarnya tidak ada.
Selanjutnya di Indonesia mengenai ruju’ ini, jika ada perselisihan yang berkaitan dengan ruju’ pada khususnya, maka perselisihan diselesaikan oleh pengadilan.
Namun di Indonesia, sampai saat ini baik Undang-undang No.1 Tahun 1974, maupun, Undang-undang No. 7 Tahun 1989, begitu pula PP No. 9 Tahun 1975, secara spesifik tidak mengatur masalah ruju’. Namun hanya diatur dalam Inpres No. 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam.Karena KHI hanya Inpres, dalam artian bukan undang-undang sehingga kekuatannya masih lemah tidak bersifat mengikat.yang secara materiil kesemuanya diambil dari rumusan kitab-kitab fikih. Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam diatur secara panjang lebar dalam Pasal 163-169.Fikih lebih banyak memuat hukum secara materiil dan hampir tidak membicarakan tata cara atau hukum acaranya. Dengan demikian aturan yang terdapat dalam KHI merupakan pelengkap dari aturan yang ditetapkan dalam fikih.