Secara
keseluruhan Ilmu tasawuf bisa di kelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi
atau nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis, yang tercakup dalam bagian
ini ialah sejarah lahirnya tasawuf dan perkembangannya sehingga menjelma
manjadi ilmu yang berdiri sendiri, termasuk di dalamnya ialah teori-teori
tasawuf menurut bebagai tokoh tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud
ungkapan sistematis dan filosofis.
Bagian ke dua
ialah Tasawuf Amali atau Tathbiqi, yaitu tasawuf terapan yakni ajaran tasawuf
yang praktis. Tidak hanya sebagai teori belaka. Namun menuntut adanya
pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf. Orang yang menjalanakan ajaran
tasawuf ini akan mendapat keseimbangan dalam kehidupannya, antara materiil dan
spiritual, dunia dan akhirat.
Sementara ada
lagi yang membagi tasawuf manjadi tiga macam bagian aliran tasawuf, yakni : 1.
Tasawuf akhlaki, 2. Tasawuf amali, 3. Tasawuf falsafi. Perlu di maklumi bahwa
pembagian ini hanya sebatas dalam kajian akademik, ke tiganya tidak bisa di
pisahkan secara dichotomik, sebab dalam prakteknya ke tiganya tidak dapat di
pisahkan satu sama lain. Selanjutnya untuk mengkaji masing-masing bagian
tasawuf tadi, berikut ini akan di uraikan satu persatu.
Tasawuf
akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian
jiwa yang di formulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan
tingkah laku yang ketat guna mencapai kebahagian yang optimum, manusia harus
lebih dahulu yang mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ke
tuhanan melaui pensucian jiwa dan raga yang bermula dari pembentukan pribadi
yang bermoral dan ber akhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf dikenal
Takhalli
(pengosongan diri dari sifat-sifat tercela),
Tahalli (menghiasi diri
dengan sifat-sifat terpuji), dan
Tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi
hati yang telah bersih seehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).
Takhalli
berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran, dan penyakit hati
yang merusak. Langkah pertama yang harus di tempuh adalah mengetahui dan
menyadari, betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotor tersebut, sehingga
muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa
dilakukan dengan sukses, maka seseorang akan memperoleh kebahagiaan. Allah
berfirman : Asy-Syams: 9-10
Artinya: “sesungguhnya
beruntunglah orang yang membersihkan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang
mengotorinya” (asy-syams: 9-10)
Adapun
sifat-sifat tercela yang harus di hilangkan ialah antara lain Syirik
(penyekutuan tuhan), hasad (dengki), hirsh (keinginan yang berlebih-lebihan),
Ghadlab ( marah), Riya dan Sum’ah (pamer), Ujb (bangga diri) dan sebagainya.
Untuk
menghilangkan sifat-sifat tersebut, maka perlu dilakukan dengan cara :
a. Menghayati
segala bentuk akidah dan ibadah.
b. Muhasabah
(koreksi) terhadap dirinya sendiri.
c. Riyadlah
(latihan) dan Mujahadah (perjuangan).
d. Berupaya
mempunyai kemauan dan gaya tangkal yang
kuat terhadap kebiasaan-kebiasaan yang jelek dan menggantinya dengan
kebiasaan-kebiasaab baik.
e. Mencari
waktu yang tepat untuk merubah sifat-sifat yang jelek-jelek itu, dan
f. Memohon
pertolongan dari Allah swt.
Tahap
selanjutnya ialah Tahalli, yakni menghias diri dengan perbuatan baik. Berusaha
agar dalam setiap gerak dan perilakunya selalu berjalan di atas ketentuan
agama.
Langkahnya
ialah membina pribadi, agar memiliki akhlak al-karimah, dan senantiasa
konsisten dengan langkah yang di rintis sebelumnya (dalam bertkhalli).
Melakukan latihan kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan berprilaku baik, yang
pada gilirannya, akan menghasilkan manusia yang sempurna (ihsan kamil).
Langkah ini
perlu di tingkatkan dengan tahap mengisi dan menyinari hati dengan sifat-sifat
terpuji, antara lain at-tauhid (pengesaan Tuhan secara mutlak), ash-shabru
(tabah dalam menghadapi segala situasi dan kondisi), dll.
Setelah
seseorang melalui dua tahap tersebut, maka pada tahap ke tiga yakni Tajalli,
seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab), yaitu : sifat-sifat
kemanusiaan atau memperoleh Nur yang selama ini tersembunyi atau fana’ segala
sesuatu selain Allah ketika Nampak (tajalli) wajah-Nya.
Al-kalabadzi
membagi tajalli menjadi tiga macam yaitu :
1. Tajallidz
Dzat, yaitu mukasyafah (terbukanya selubung yang menutupi kerahasiaan-Nya).
2. Tajallis
Sifatidz Dzat, yakni nampaknya sifat-sifat Dzat-Nya sebagai sumber atau tempat
cahaya.
3. Tajalli
Hukmudz Dzat, yaitu nampaknya hukum-hukum Dzat, atau hal-hal yang berhubungan
dengan akhirat dan apa yang ada di dalamnya.
Pencapaian
tajalli tersebut melalui pendekatan melalui pendekatan rasa atau Dzauq dengan
alat al-Qalb. Qalb menurut shufi mempunyai kemempuan lebih bila dibandingkan
dengan akal. Yang kedua ini tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya
tentang Allah swt. Sedang al-Qalb bisa mengetahuinya. Apabila ia telah member
atau menembus qalb dengan Nur-Nya, maka akan terlimpahkanlah kepada seseorang
karunia dan rahmat-Nya. Ketika itu Qalb menjadi terang-benderang, terangkatlah
tabir rahasia dengan karunianya rahmat itu, tatkala itu jelaslah segala hakikat
ketuhanan selama itu terhijab dan terahasiakan.
Apabila
seseorang telah mencapai tajalli, maka dia akan memperoleh ma’rifat, yaitu
mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya tentang segala
yang ada atau bisa di artikan lenyapnya segala sesuatu dengan ketika
menyaksikan Tuhan.
Ma’rifat
merupakan pemberian Tuhan, bukan usaha manusia. Ia merupakan ahwal tertinggi,
yang datangnya sesuai atau sejalan dengan ketekunan, kerajinan, kepatuhan, dan
ketaatan seseorang. Menurut Ibrahim Basyuni, ma’rifat merupakan
pencapaian tertinggi dan sebagai hasil akhir dari segala pemberian setela
melakukan mujahadah dan riyadlah, dan bisa dicapai ketika terpenuhinya qalb
dengan Nur Ilahi.
Nur Ilahi itu
akan diberikan kepada seseorang yang telah terkendali hawa nafsunya, bahkan
bisa dilenyapkan sifat-sifat kemanusiaan (basyariyah) nya yang cenderung
berbuat maksiat, dan terlepasnya dari kecendrungan kepada masalah duniawiyah.
Karena dosa dan cinta kepadanya, akan menjadi penghalang qalb untuk melihat (ma’rifat)
kepada-Nya.
Tasawuf
amali, yaitu tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri
kepada Allah. Dalam pengertian ini, tasawuf amali berkonotasikan thariqah,
dalam thariqah dibedakan antara kemampuan shufi yang satu dari pada yang lain,
ada orang yang di anggap mampu dan tahu cara mendekatkan diri kepada Allah, dan
ada orang yang memerlukan bantuan orang lain yang di anggap memiliki otoritas
dalam masalah itu. Dalam perkembangan selanjutnya, para pencari dan pengikut semakin
banyak dan terbentuklah semacam komunitas social yang sepaham, dan dari sini
muncullah strata-strata berdasarkan pengetahuan serta amalan yang mereka
lakukan. Dari sini maka mucullah istilah Murid, Mursyid, Wali, dan sebagainya.
Dalam tasawuf
amali yang berkonotasikan thariqah ini mempunyai aturan, prinsip dan system
khusus. Semula hanya merupakan jalan yang harus di tempuh seorang sufi dalam
mencapai tujuan berada sedekat mungkin dengan tuhan, lama-kelamaan bekembang
menjadi organisasi shufi, yang melegalisir kegiatan tasawuf. Praktek amaliahnya
disistimatisasikan sedemikian rupa sehingga masing-masing thariqah mempunyai
metode sendiri-sendiri.
Pengertian
ini di tegaskan oleh J. Scencer Trimingham bahwa thariqah adalah suatu
metode praktis untuk menuntun seorang shufi secara berencana dengan jalan
pikiran, perasaan, dan tindakkan, terkendali terus menerus kepada suatu
rangkaian maqam untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya.
Dalam
thariqah ada tiga unsure yakni: guru, murid, dan ajaran. Guru adalah orang yang
mempunyai otoritas dan legalitas ke shufian, yang berhak mengawasi muridnya
dalam setiap langkah dan geraknya sesuai
dengan ajaran islam. Oleh karena itu dia mempunyai ke istimewaan khusus,
seperti jiwa yang bersih.
Tasawuf falsafi,
yaitu tasawuf yang ajaran-ajaranya memadukan antara visi intuitif dan visi
resional. Terminology filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-macam
ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya
sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak
bisa di pandang sebagai filsafat, karena ajaran daan metodenya di dasarkan pada
dasar dzauq, dan tidak pula bisa di kategorikan pada tasawuf (yang murni)
karena sering di ungkapkan dengan bahasa filsafat.
Dalam upaya
mengungkapkan pengalaman rohaninya, para shufi falsafi sering menggunakan
ungkapan-ungkapan yang samar, yang sering di kenal dengan syathahiyyat, yaitu
suatu ungkapan yang sulit difahami, yang seringkali mengakibatkan
kesalahpahaman pihak luar, dan menimbulkan tragedy. Tokoh-tokohnya ialah Abu
Yazid al-busthami, al-Hallaj, Ibn Arabi, dan sebagainya.
Abu Yazid
al-Busthami mempunyai teori al-Ittihad, yaitu suatu tingkatan dalam
tasawuf di mana seorang shufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu
tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga
salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi deengan kata-kata : “hai
aku”. Dalam al-Ittihad identitas telah menjadi satu.
Salah satu
Syathiyat yang di ungkapan al-Busthami ialah :
1. “tiada
tuhan selain aku, maka sembahlah aku”.
2. “maha
suci aku, maha suci aku, alangkah agungnya keadaan-ku”.
3. “tidak
ada sesuatu dalam bajuku ini kecuali Allah”.
Tokoh lainnya
ialah al-Hallaj dengan ajaran al-Hululnya, yaitu suatu faham yang
mengatakan bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu mengambil tempat
(hulul) di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan.
Menurut
al-Hallaj dalam diri manusia terdapat dua unsur, yakni unsur Nasut
(kemanusiaan), dan unsure Lahut (ketuhanan), karena itu persatuan antara tuhan
dan manusia bisa terjadi dan dengan persatuan itu mengambil bentuk hulul.
Al-Hallaj
juga mengungkapkan syathahiyat sebagaimana di ungkapkan al-Busthami, seperti :
“aku adalah yang haq”. Karena ungkapannya yang di anggap menyimpang dari
tauhid inilah, dan tuduhan bekomplot dengan syi’ah Qaramithah, maka dia di
jebloskan ke dalam keputusan pengadilan fuqaha’ yang sepihak dan berkolusi
dengan pemerintahan al-Muqtadir Billah. Dia di jatuhi hukuman mati.
Teori Hulul
ini di kembangkan labih jauh oleh Ibn Arabi dengan teori Wahdatul
Wujud. Dalam teori ini, Ibn Arabi merubah Nasut dalam hulul menjadi
al-Khaliq dan Lahut menjadi al-Haq. Kedua unsure tersebut pasti ada pada setiap
makhluk yang ada ini , sebagai aspek batin, Ibn Arabi mengungkapkan : “ maha
suci dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan dia adalah essensinya sendiri”.
Paham yang di
bawa oleh para shufi falsafi membawa pro dan kontra, karena perbedaan latar
belakang sudut tinjauan dan pisau analisianya. Dalam dunia tasawuf di kenal
istilah fana’ dan baqa’ sebagaimana telah di uraikan di depan. Ketika seseorang
telah mencapai keadaan demikian, seorang shufi telah mencapai puncak tujuan
yang di inginkannya, yakni ma’rifat dan hakikat, sehingga muncul kesadaran
bahwa al-ma’rifah (pengetahuan), al-Arif (orang yang mengetahui), dan al-Ma’ruf
(yang di ketahui/tuhan) adalah satu.
Orang yang
telah mencapai ma’rifat, hatinya bersih, dia akan merenungi sifat-sifat tuhan,
bukan pada essensi-Nya, karena dalam ma’rifat masih ada sia-sia kegandaan yang
masih tertinggal. Sifat utama Tuhan adalah ketuhanan dan kesatuan ilahi
merupakan prinsip ma’rifat yang pertama dan yang terakhir.
Tuhan bagi
shufi difahami sebagai Dzat yang esa yang mendasari seluruh peristiwa. Prinsip
ini membawa konsekuensi yang ekstrim. Apabila tiada sesuatu yang mewujudkan
selain Tuhan, maka seluruh alam pada dasarnya adalah satu dengan-Nya, apakah ia
di pandang emanasi yang berkembang dari pada-Nya, tanpa mengganggu ke
esaan-Nya, sebagaimana halnya bekas sinar matahari atau apakah ia berlaku
seperti cermin dengan mana sifat-sifat Allah dipancarkan. Konsep inilah yang
mendasari para shufi falsafi mempunyai pandangan tersebut di atas.
Dengan
analisis seperti ini, maka hasil yang diperoleh oleh para shufi falsafi
sebagaimana telah di ungkapkan adalah sesuatu yang wajar saja, dan suatu
konsekuensi logis. Namun apabila didekati dengan fiqih dan ilmu kalam, adalah
jenis hal tersebut di anggap suatu yang menyimpang, karena antara khalik dan
makhluk, antara ‘abid dan ma’bud tidak bisa di satukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Emroni. Ilmu tasawuf. IAIN
Antasari. Banjar masin. 2001
Ahmad jaiz. Hartono. Mendudukan
tasawuf. Buku Islam kafah.jakarta
Labels: Kuliah