Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang Allah swt karuniakan terhadap sebagian kamu lebih banyak dari sebagian kamu, karena bagi seorang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah swt sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, dan janganlah kami memakan harta diantara sesame dengan jalan yang batil, dan jangan kamu bawa masalah itu kepada ahli hukum agar kamu mendapat peluang untuk memakan sebagian harta orang lain dengan cara berdosa, padahal kamu memahami hal itu. (QS. Al-Baqarah : 185).
Masalah kewarisan Islam merupakan masalah yang paling sempurnakan dikemukakan Al-Qur’an, nash-nashnya dapat langsung ditentukan tanpa melalui penafsiran. Menurut Ali Ash-shabuni, dalil yang peertama kewarisan dalam Islam ialah Firman Allah swt dalam surah An-Nisa ayat 11-12.
Dalam sabda Rasulullah saw, bersama Abu Bakar suatu hari menengok Jabir Abdillah yang sedang sakit di kampong Bani Salam. Ketika itu Jabir bin Abdillah, dalam keadaan pingsan, lalu beliau meminta air untuk berwudhu dan memercikkan air kewajahnya, sehingga Jabir sadar. Lalu, Jabir berkata, “apa yang tuan perintahkan kepadaku tentang harta bendaku?, pertanyaan itu dijawab melalui turunnya surah An-Nisa ayat 11-12.
Waris adalah berbagai aturan perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dalam istilah lain disebutkan, waris juga berarti dengan fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam semua yang berhak menerimanya.
Banyak hal-hal yang dibahas di dalam hukum waris, tidak hanya masalah tentang siapa yang berhak dan jumlah harta yang diterima, namun juga ada hal-hal yang berkembang sesuai dengan jamannya seperti kewarisan seseorang yang hilang atau dikenal dengan istilah “Mafqud”, sebagaimana suatu riwayat:
Ali bin Abi Thalib pernah berfatwa tentang kasus seorang wanita yang kehilangan suami. Beliau mengatakan: “ Dia seorang wanita yang terkena musibah, maka hendaklah ia bersabar, jangan dulu ia dikawinkan hingga berita kematian suaminya sampai kepadanya serta meyakinkan” .
Maka di dalam makalah ini kami akan membahas tentang hal ihwal hukum seorang mafqud yang ditinjau melalui pendapat ulama serta kaidah ushul fiqh dalam menentukan kewarisannya.
A. Pengertian Mafqud
Mafqud menurut bahasa berarti hilang , dalam bahasa Arab bisa juga diartikan lenyap (adl dlai’u). Dikatakan Faqadatis syai’u iidzaa adhamathu (sesuatu dikatakan hilang apabila ia tidak ada). Dalam firman Allah SWT:
قالوا نفقد صواع الملك
“penyeru-penyeru itu berseru: “kami kehilangan piala-piala raja….”
Dalam bahasa Arab al mafqud adalah isim maf’ul dari kata فقد - يفقد – فقدا مفقو yang artinya hilang . Menurut istilah al mafqud ialah orang yang hilang, tidak diketahui kabar beritanya dan tidak tampak jejaknya. Keberadaannya tidak diketahui, apakah masih hidup atau telah mati . Dijelaskan yang dimaksud dengan orang hilang ialah orang yang hilang dan putus kabar berita tentang dirinya, serta tidak diketahui hidup atau matinya. Hampir semua buku memaknai mafqud ialah orang yang hilang, yang tidak diketahui tentang kejelasan hidup atau matinya, dan tempat tinggalnya setelah kepergiannya.
B. Hukum Kewarisan Seorang yang Hilang
Dalam penentuan hukum kewarisan seorang yang tidak diketahui keberadaannya maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terlebih dahulu, yaitu, tentang status istrinya, hartanya, dan status kewarisannya .
Ulama fiqih telah sepakat bahwa istri dari seorang yang mafqud tidak boleh dinikahi oleh orang lain hingga telah keluar keputusan tentang suaminya tadi. Ali bin Abi Thalib pernah berfatwa tentang kasus seorang wanita yang kehilangan suami. Beliau mengatakan: “ Dia seorang wanita yang terkena musibah, maka hendaklah ia bersabar, jangan dulu ia dikawinkan hingga berita kematian suaminya sampai kepadanya serta meyakinkan” .
Tentang harta maka ulama mazhab bersepakat pula bahwa dalam hilangnya seseorang, diwajibkan menahan diri dari membagikan harta-hartanya, sampai ada kepastian bahwa ia dinyatakan tidak mungkin hidup atau telah meninggal dunia . Penyusun kitab Al Masalik dan penyusun kitab Al Fawahir menukil pendapat dari kalangan imamiyah bahwa harta dari seorang mafqud tidak boleh diganggu gugat atau dibagikan, kecuali ada kepastian bahwa ia telah meninggal dunia, kepastian didapat melalui berita yang mutawatir, bukti yang kuat serta informasi yang didukung dengan adanya bukti-bukti yang kongkrit serta dilihat dari senggang waktu yang tidak memungkinkan orang tersebut untuk hidup.
Kewarisan seorang mafqud untuk mendapatkan harta warisan dari salah seorang kerabatnya yang meninggal dunia, dapat dilakukan dengan menyimpan serta memisahkan harta yang menjadi jatahnya dari warisan kerabatnya tersebut, hingga ada kejelasan tentang hal ihwal dia .
Ada dua kondisi ketika seorang mafqud menjadi ahli waris yaitu:
1. Adakalanya orang yang hilang itu memahjubkan ahli waris yang bersama-sama dengannya secara mahjub hirman.
2. Adakalanya seorang mafqud itu tidak memahjubkan ahli waris lain yang bersamaan, bahkan ia bersekutu mewarrisi bersama dengan mereka.
Kondisi pertama, semua harta pusaka yang menjadi hak seorang mafqud tersebut disimpan atau ditangguhkan sampai keluar keputusan tentang kondisi seorang mafqud tersebut, namun, jika sudah keluar keputusan yang mengatakan bahwa si mafqud tadi telah dianggap meninggal dunia maka harta pusaka tersebut dubagikan kepada ahli waris sesuai dengan bagiannya masing-masing .
Contohnya, seorang meninggal dunia dan terdapat seorang saudara laki-laki sekandung, seorang saudari perempuan kandung, dan seorang anak laki-laki yang hilang (mafqud), maka mutlak, anak laki-laki itu menghijab saudara laki-laki sekandung dan saudari perempuan sekandung tersebut, secara hijab hirman .
Kondisi kedua, para ahli waris mendapat bagian yang paling sedikit dari dua perkiraan tentang hidup atau meninggalnya seorang yang mafqud. Jelasnya keputusan hidup atau meninggalnya orang yang mafqud tadi memperngaruhi pembagian harta pusaka terhadap ahli waris yang pendapatannya berpengarus terhadap adanya mafqud, terhadap seorang ahli waris yang mewarisi dari segala situasi dan orang yang mafqud tadi tidak mempengaruhi bagiannya maka hak bisa diberikan.
Umpamanya, seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, ibu, saudara laki-laki seayah, dan seorang saudara laki-laki sekandung yang hilang .
Asal Masalah 12 Asal Masalah 12
1/4 Istri 3 1/4 Istri 3
1/6 Ibu + 2 1/6 Ibu 2
1/6 Ibu 2 (ditangguhkan) Ash Saudara laki-laki sekandung 7
Mahjub: saudara laki-laki sekandung yang hilang - Mahjub Saudara laki-laki seayah -
Ashobah: saudara laki-laki seayah 5 (ditangguhkan)
Table diatas merupakan gabungan dari ahli waris yang bagian pusakannya tidak berubah (ada atau tidak adnya orang hilang), yaitu istri, bersama ahli waris lain yang bagiannya dipengaruhi si mafqud .
Dari tiga paparan aspek hukum yang perlu diperhatikan dari seorang mafqud tadi mempunyai titik tinjauan pada ketetapan tentang kondisi si mafqud tersebut (hidup atau telah meninggal dunia). Dengan ini kembali kepada kaidah usul “Istishab al-hal” (mempertahankan keadaan semula) , yaitu tetap berpegangan pada keadaan semula dia masih hidup sampai ada kepastian atas kondisinya.
Terdapat dua hal yang dapat menjadi pertimbangan untuk mendapatkan kejelasan atas kondisi si mafqud, yaitu berdasarkan fakta-fakta yang dapat menunjukkan hidup atau matinya dan yang kedua dengan memberikan batasan lamanya si mafqud hilang .
C. Pendapat Ulama Tentang Batasan Waktu Seorang Mafqud
1. Ulama Hanafiyah. Abu hanifah berpendapat bahwa orang yang hilang dianggap telah meninggal dunia dengan melihat kematian teman-teman sebayanya yang menetap di negaranya. Jika teman-teman sebayanya telah meninggal semuanya, maka orang itu dihukumi telah meninggal. Adapun Abu Hanifah memberi batasan waktu selama 90 tahun .
2. Mazhab As Syafii berpendapat bahwa usia dijadikan dasar penetapan seorang mafqud telah mininggal ialah 90 tahun, namun pendapat yang rajah dari kalangan mazhab ini yaitu penetapan hal si mafqud berada ditangan seorang hakim, karena ia telah berijtihad dalam penetapan tersebut .
3. Malikiyah berpendapat bahwa orang yang hilang itu mati, dalam hal berhubungan dengan hartanya, adalah pada umur kebanyakan manusia yaitu 70 tahun,. Pendapat ini merupakan pendapt rajah atau terkuat . Umat Nabi Muhammad saw, berada di interval 60 sampai 70 tahun, seperti yang tersebut dalam sebuah hadist:
اعمار امتى ما بين الستين والسبعين }الحديث{
“umur umatku antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun” {al hadist}
Diriwayatkan melalui Imam Malik, bahwasanya apabila ada lelaki yang hilang di Negara Islam dan terputus beritanya, istrinya hharus melapor kepada hakim. Jika tidak ad jua beritanya maka si istri harus menunggu selam 4 tahun, jika telah beiddah selam 4 tahun sebagaimana iddah ditinggal suami meninggal dunia .
4. Menurut mazhab Hanbali, bahwa apabila seorang hilang karena sesuatu sebab, maka harus dilakukan penelitian selam 4 tahun, setelah itu barulah hartanya bisa diserahkan kkepada ahli waris. Apabila hilangnya tanpa sebab, maka menurut imam Ahmad bin Hanbal ada dua alternative, yaitu:
Menunggu sampai batas masa melewati 90 tahun dari kelahirannya.
Menyerahkan masalahnya kepada ijtihad hakim.
Itu tadi empat pemahaman dari empat mazhab yang tentang memberikan tenggang waktu kepada seorang mafqud dinyatakan meninggal dunia, jika melihat kepada masa kekinian maka hal ini harus dihubungkan kepada konstitusi yang memegang kekuasaan penerapan hokum, maksudnya adalah hendaknya penetapan hal ihwal seorang mafqud melalui keputusan seorang hakim yang berijtihad.
Simpulan
Bahwasanya ada tiga aspek yang berkenaan terhadap seorang mafqud yaitu tentang istri dari seorang yang mafqud, hartanya, serta haknya pada kewarisannya yang akan diterimanya. Dengan kaidah ushul:
الا صل بقاء ماكان علي ماكان
Maka si mafqud tadi dihukumi dengan asalnya yaitu dia hidup, maka dengan adanya pacuan kaidah ini, terbentuklah ketentuan yang muncul dari ijtihad para ulama fiqh tentang batasan tenggang waktu untuk ditentukannya hidup atau meninggalnya seorang mafqud.
Terhadap kewarisannya atas kerabatnya yang meninggal dunia, maka dikondisikan dalam dua hal diman iya bisa memahjubkan ahli waris yang bersamaan dengannya secara mahjub hirman, dan adakalanya ia tidak memahjubkan ahli waris lain yang bersamanya, bahkan ia bersekutu mewarisi bersama mereka.
Daftar Pustaka
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Fiqih Mawaris, Bandung; Pustaka Setia, tahun 2009, cetakan ke I
Drs. H. Amin Husein Nasution, M.A., Hukum Kewarisan, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, tahun 2012, cetakan ke I
Dra. Wahidah, M.HI., Al Mafqud Kajian Tentang Kewarisan Orang Hilang, Banjarmasin; Antasari Press, tahun 2008, cetakan ke I
Drs. Sudarsono, S.H.,M.Si., Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta, tahun 2001, cetakan ke II
Labels: Kuliah