Fase persiapan
hukum islam, di mulai pada masa Khalifah pertama sampai selesainya masa sahabat
atau dari tahun 11 H sampai akhir-akhir abad pertama Hijriah. Fase persiapan
hukum islam di mulai sejak wafat Rasul SAW pada tahun 11 H dan berakhir pada
akhir-akhir abad pertama Hijriah. Fase tersebut juga di sebut “fase sahabat”
karena kekuasaan menetapkan hukum berada di kalangan sahabat-sahabat besar. Di
antara mereka ada yang hidup sampai akhir tahun 93 H.
Fase permulaan
hukum islam (fase Rasul) telah meninggalkan suatu kumpulan hukum yang terdiri
dari Al-qur’an dan Hadist. Akan tetapi tidak semua orang dapat mempelajari dan
memahami materi-materi hukum tersebut.
Karena tiga hal, pertama, di antara kaum muslimin banyak terdapat orang awam
yang tidak dapat memahami nas-nas hukum tersebut, kecuali dengan bantuan orang
lain. Kedua, materi-materi hukum tersebut (Qur’an dan Hadist) belum tersebar
luas di kalangan kaum muslimin, sehingga tidak bisa di pelajari oleh setiap
orang karena Qur’an masih berupa lembaran-lembaran. Lepas yang di simpan di
rumah Rasul dan di rumah beberapa orang sahabat, sedang hadist belum di bukukan
sama sekali. Ketiga, materi-materi hukum tersebut hanya berisi
ketentuan-ketentuan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi benar-benar dan
tidak di maksudkan untuk peristiwa-peristiwa khayalan yang baru mungkin akan
terjadi, sedang pada masa sahabat telah terjadi peristiwa-peristiwa hukum yang
tidak pernah terjadi pada masa Rasul SAW dan tidak pula bisa di cari
ketentuannya dari nas-nas yang ada.
Kurangnya
dokumentasi pada periode awal menyulitkan kita untuk membuat sebuah gambaran
yang komplit tentang sumber-sumber di mana praktik-praktik hukum berasal. Akan
tetapi, sangatlah jelas bahwa khalifah-khalifah periode awal, termasuk dinasti
Umayyah, telah menganggap diri mereka sebagai wakil Tuhan di muka bumi, dan
karenannya mereka menganggap Al-qur’an sebagai sebuah sumber yang darinya
mereka memutuskan keputusan-keputusan hukum mereka. Sebagaimana terbukti dalam
perintah-perintah yang di berikan kepada tentaranya, Abu bakar mengikuti
norma-norma Al-qur’an secara umum. Di antaranya, ia memaksakan larangan
mengonsumsi alkohol dan memastikan hukuman 40 kali cambukan bagi
pelanggarannya.
Sumber Hukum Pada Masa Sahabat.
Sumber hukum
pada masa sahabat ada 3, yaitu : Al-qur’an, Sunnah, dan ijtihad sahabat. Alasan
untuk memegangi qur’an dan hadist ialah suruhan untuk mentaati Allah dan
rasulnya seperti yang sering di sebutkan dalam Al-qur’an dan untuk
mengembalikan kepada Allah dan Rasul, serta menerima apa yang di putuskan oleh ke dua-Nya. Dan alasan untuk
memegangi ijtihad ialah tindakan-tindakan Rasul SAW sendiri, dimana apabila ia
tidak menerima wahyu Tuhan yang bersangkutan dengan persoalan yang di
hadapinya, maka ia melakukan ijtihad sendiri dan juga pembenaran rasul terhadap
usaha-usaha ijtihad yang di lakukan oleh sahabat-sahabatnya/>
Perkembangan Fikih Pada Masa Sahabat
Dengan
meluasnya daerah kekuasaan Islam pada masa sahabat, turut membuat perkembangan
fiqih dimasa itu, banyak hal-hal yang baru terjadi dimasa ini dan tentunya
membuat semakin berkembangnya hukum Islam pada masa itu. Tidak bisa dipungkiri
lagi bahwa kondisi suatu daerah mempengaruhi cara berfikir seseorang, demikian
juga para sahabat yang hidupnya diberbagai daerah.Inilah yang menjadikan hasil ijtihad mereka
berbeda-beda. Masih ada hal-dal yang mempengaruhi berkembangnya fiqih dimasa
ini yaitu : munculnya berbagai peristiwa dan kasus yang meminta segera
penyelesaian hokum, dan berbagai macam problema yang membutuhkan pemecahan.
Sedangkan tasyri atau materi hokum sangat minimal, tidak mampu menghadapi
berbagai macam kejadian yang muncul setiap waktu.
Adapula
permasalahan lainnya ialah kebanyakan nas-nas Al Qur’an dan hadist yang tidak
berisi suatu pengertian yang bersifat jelas (qat’i) melainkan bersifat
kemungkinan-kemungkinan (dhanni). Serta hadist-hadist Rasul belum dibukukan,
hadist-hadist tersebut masih diriwayatkan dengan lisan dan kasus ini bisa saja
membuat seseorang yang berada di Mesir mengetahui hadist ini namun seseorang
yang berada di Iraq tidak mengetahuinya. Ada juga masalah selanjutnya tentang
lingkungan hidup dengan segala persoalan yang dialami oleh para sahabat-sahabat
nabi tidak sama, misalnya Abdullah bin Umar r.a. yang hidupnya di Madinah tidak
mengalami seperti apa yang dialami oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. yang hidup di
Kufah
Di bawah ini beberapa contoh
ijtihad yang dilakukan beberapa sahabat
Dimasa
Rasulullah dan Abu Bakar kaum muallaf medapat bagian dari harta zakat, namun
pada masa Umar memerintah keadaan umat Islam sudah kuat maka beliau menghapuskan bagian mullaf itu.
Berdasarkan
keumuman ayat yang berbicara tentang hukuman had bahwa hukuman had dilaksanakan
dimana saja , namun Umar bin Khattab dan Zaid bin Sabit berpendappat hukuman
had tidak dilaksanakan di daerah yang masiholeh orang yang bukan Islam attau daerah yang masih berkecamuk
peperangan.
Ayat yang
berbicara masalah hukuman pencurian
ialah potong tangan dan ayat ini
bersifat umum, namun dimasa Umar memerintah terjadi kemarau panjang yang
menyebabkan sering terjadi pencurian karena itu beliau memerintah pencuri tidak
usah dipotong tangan tetapi diganti
dengan hukuman penjara.
Umar bin
Khattab and Ibnu Mas’ud berpendapat perempuan yang hamil dan meninggal suaminya
maka iddahnya ditetapkan iddah hamil,
tetapi Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas
berpendapat perempuan itu menjalankan salah satu iddah yang panjang.
Sebab yang
menimbulkan perbedaan pendapat ini adalah kembali kepada perbedaan mereka dalam
memahami kandungan kata-kata yang
terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah. Pengertian ayat atau matan hadist menjadi
kurang jelas karena dibawakan dengan lafal musytarak, hakiki dan najazi, aam dank
has, mutllaq serta muqayyad.
Menurut Dr.
Atiah Musyrifah, ada tiga keistimewaan yang menonjol dalam masa sahabat
(Khulafaur Rasyidim), yaitu :
Pertama :
mengkodifikasi ayat Al-qu’an dan menyebarkannya.
Kedua :
pertumbuhan tasyri’ berdasarkan ra’yu dan
Ketiga :
pengaturan peradilan.
Kodifikasi
ayat-ayat Al-qur’an dan penyebarannya
Kodifikasi ini
dilakukan pada masa Khalifah Abu bakar, ketika terjadi penumpasan pemberontakan
orang-orang murtad di daerah Yamamah di bawah pimpinan Musailamah, dan
menyebabkan banyak dari hafidz Al qur’an gugur menjadi syuhada. Tragedy
tersebut mendorong Umar untuk mengusul kepada Khalifah Abu bakar, agar beliau
memerintahkan pengumpulan Al qur’an, ia khawatir kalau Al-qur’an itu hilang
nantinya setelah wafatnya banyak Hufadz Al qur’an itu.
Setelah melalui
pertimbangan, maka Khalifah Abu bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, untuk
mengumpulkan ayat-ayat Al qur’an yang tertulis di berbagai benda menjadi satu
mushaf. Dengan meminta bantuan dari para hufadz, dan meminta suhuf dari para
penulis wahyu yang telah menulis untuk mereka sendiri. Semuanya itu di himpun
menjadi satu, lalu di simpan di rumah Khalifah Abu bakar, kemudian di rumah
Umar bin Khattab, kemudian di rumah Hafsah bin umar (istri Rasulullah).
Pada tahun 25
H, Khalifah Usman bin Affan meminta suhuf dari sayyidah hafsah, kemudian
Khalifah Utsman menugaskan kepada Zaid bin Tsabit, agar mereka menyalin dengan
baik dan teliti suhuf itu. Setelah para penulis itu menyelesaikan 6 buah
mushaf, maka mushaf aslinya dikembalikan kepada Sayyidah hafsah, dan mushaf yang
telah di tulis itu, di kirim ke berbagai daerah : kufah, Basrah, Damsyik,
Mekkah dan Madinah, satu muhaf di simpan Khalifah Utsman sendiri. Maka dengan
demikian tersebarlah Al qur’an ke seluruh penjuru wilayah islam. Penulisan
pertama di maksudkan untuk memeliharanya dari kehancuran, sedangkan penulisan
ke dua di maksudkan untuk mempersatukan umat islam dalam 1bacaan Al qur’an,
agar tidak terjadi perbedaan di antara mereka.
Pertumbuhan
Tasyri dengan ra’yu
Bertambah
luasnya wilayah kekuasaan islam, dapat memberikan keuntungan bagi kaum
muslimin, baik di bidang material dan spiritual. Karena daerah yang baru itu
adalah daerah yang telah maju peradaban dan kebudayaan nya pada waktu itu.
Dampaknya muncul berbagai macam masalah yang mendesak adanya ketentuan hukumnya,
padahal belum pernah ada hal yang seperti itu sebelumnya. Hal inilah yang
merupakan motivasi yang sangat besar terhadap para Fuqaha untuk menggunakan
rasio atau ra’yu sebagai sumber hukum ke tiga setelah Al qur’an dan Sunnah,
yang kemmudian di sebut dengan “qias”
Labels: Kuliah