Menurut seseorang peneliti, sejak masih
Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra
yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya
juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan
sastra.
Sesudah lulus SD, kakak beradik itu
memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk
Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku
ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari
Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?
Pada waktu kelas dua di sekolah menengah
ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang.
Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa
diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari
pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen
Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.
Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke
Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya,
Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan,
yakni ilmu alam.
Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie
pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu
sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari
sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang
tajam dan penuh kritik.
Ada hal baik yang diukurnya selama
menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus
dengan nilai tinggi. Kemudian kakak beradik ini melanjutkan ke
Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan
sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.
Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis
kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar
terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik
tajam rejim Orde Baru.
Gie sangat kecewa dengan sikap
teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan
mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak
ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie
memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan
oposisinya.
Selain itu juga Gie ikut mendirikan
Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat
memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam
catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.
Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat
dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang
hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke
Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di
bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie
lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.
Bersama Mapala UI Gie berencana
menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari
pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata
kepada teman-temannya. “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami
katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada
slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan
slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat
kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat
ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.
Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan
fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
8 Desember sebelum Gie berangkat sempat
menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya.
Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang
lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya
ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan
juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah
pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”
Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang
tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut.
Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya
catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie
di puncak gunung tersebut.
John Maxwell berkomentar, “Gie hanya
seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi
dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin
tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia
muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan
harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya.
“Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza
(sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film
itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe
Hok Gie” tuturnya.