Sejarah Peradilan Islam di Indonesia


Sejarah Peradilan Islam di Indonesia

A.    Pra Kolonial dan Kerajaan-kerajaan Islam
Pada masa pra kolonial dan kerajaan-kerajaan Islam tidak lepas dari masuknya agama Islam ke Nusantara ini. Pada abad ke-7. Penerapan hukum Islam bukan hanya pada pelaksanaan ibadah-ibadah tertentu melainkan juga diterapkan masalah-masalah muamalah, munakahat, dan uqubat 
Dalam hal penyelesaikan masalah muamalah, munakahat, dan uqubat diselesaikan melalui Peradilan Agama. Walaupun secara Yuridis lembaga Peradilan Agama belum ada, tetapi dalam praktiknya telah ada penerapan Peradilan Agama dalam proses penyelasaian perkara-perkara tersebut.
Periodesasi peradilan Islam di Indonesia sebelum datangnya pemerintahan kolonial Belanda yang disepakati para ahli terbagi menjadi tiga periode, yaitu : 

1.      Periode Tahkim
Pada awal masa Islam datang ke-Indonesia, komunitas Islam sangat sedikit dan pemeluk Islam masih belum mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan Islam. Bila timbul permasalahan, mereka menunjuk seseorang yang di pandang ahli untuk menyelesaikannya. Apa pun keputusan yang akan dijatuhkan oleh orang yang ditunjuk itu keduannya harus taat untuk mematuhinya. Cara seperti inilah yang disebut “tahkim”. Bertahkim seperti ini dapat juga dilaksanakan dalam hal lain sengketa, seperti penyerahan pelaksanaan akad nikah dari wanita yang tidak mempunyai wali.




2.      Periode Ahl al-Halli wa al-Aqdi
Setelah kelompok-kelompok masyarakat Islam terbentuk dan mampu mengatur tata kehidupan sendiri, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan cara mengangkat Ahl al-Hal wa al-Aqdi. Yaitu orang-orang yang terpercaya dan luas pengetahuannya untuk menjadi sesepuh masyarakat, selanjutnya Ahl al-Hal wa al-Aqdi mengangkat para hakim untuk menyelesaikan segala sengketa yang ada di masyarakat. Penunjukkan ini dilakukan atas dasar musyawarah dan kesepakatan.

3.      Periode Tauliyah
Setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, pengangkatan hakim dilaksanakan dengan cara Tauliyah dari Imam, atau pelimpahan wewenang dari Sultan selaku kepala Negara, kepala Negara selaku Wali al-Amri mempunyai wewenang mengangkat orang-orang yang telah memenuhi syarat tertentu untuk menjadi hakim di wilayah kerajaan yang ditentukan oleh kepala Negara atau sultan.
Bersamaan dan perkembangan masyarakat Islam, ketika kedatangan orang-orang Belanda pada 1605 M, Indonesia sudah terdiri dari sejumlah kerajaan Islam. Pada periode ini kerajaan-kerajaan Islam Nusantara sudah mempunyai pembantu jabatan agama dalam sistem pemerintahannya. Misalnya di tingkat desa ada jabatan agama yang disebut kaum, kayim, modin, dan amil. Di tingkat kecamatan di sebut Penghulu Naib. Di tingkat Kabupaten ada Penghulu Seda dan di tingkat kerajaan disebut Penghulu Agung yang berfungsi sebagai hakim atau (qadhi) yang dibantu beberapa penasihat yang kemudian disebut dengan pengadilan Serambi.

B.     Masa Kolonial
1.      Periode sebelum Tahun 1882
Menurut Supomo, pada masa penjajahan Belanda terdapat lima tatanan Peradilan, yaitu :
a.       Peradilan Gubernemen, tersebar di seluruh daerah Hindia-Belanda.
b.      Peradilan Pribumi tersebar di luar Jawa dan Madura.
c.       Peradilan Swapraja, tersebar hamper di seluruh daerah swapraja.
d.      Peradilan Agama tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan Peradilan Gubernemen, di daerah-daerah dan menjadi bagian dari Peradilan Pribumi, atau di daerah-daerah swapraja dan menjadi bagian dari Peradilan Swapraja.
e.       Peradilan desa tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan Peradilan Gubernemen.
Sebelum Belanda melancarkan politik hukum (Islam Politik) di Indonesia, Islam mendapat tempat dalam berbagai kehidupan masyarakat Muslim di belahan nusantara ini. Namun keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme barat membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.
Intervensi kolonial Belanda di akhir abad ke-16 ditandai dengan kedatangan organisasi dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) tahun 1596 di Banten. Misi VOC mempunyai dua fungsi, pertama sebagai pedagang, dan kedua, sebagai badan pemerintah. Sebagai upaya pemantapan kedua fungsi tersebut, VOC menggunakan hukum dan peraturan perundang-undangan Belanda. Di daerah-daerah yang kemudian satu persatu dapat dikuasai kolonial akhirnya membentuk badan-badan peradilan.
2.      Periode 1882-1937
Secara yuridis formal, peradilan agama sebagai suatu Badan peradilan yang terkait dalam system kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada 1 Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan suatu keputusan Raja Belanda yakni Raja Willam III tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam Staatsblad 1882 No. 152. Badan Peradilan ini bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut dengan Rapat Agama atau Raad Agama dan Terakhir dengan Pengadilan Agama.
Keputusan Raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam Staatsblad 1882 No. 153, dengan demikian dapatlah dikatakan tanggal kelahiran Badan Peradilan Agama di Indonesia adalah 1 Agustus 1882.

C.    Masa Penjajahan Jepang
Pergeseran otoritas (wewenang) jajahan Jepang membawa pada perubahan yang besar bagi masyarakat Indonesia. Perbedaan fundamental (mendasar) antara imperialisme (penjajahan) Jepang dan Barat terletak pada karakter militernya, pemerintahan militer Jepang yang menguasai Indonesia pada gilirannya memegang semua urusan pemerintahan kolonial.
Secara teoretis pemerintahan Jepang berusaha untuk membuat symbol pemisahan yang total dengan Belanda. Semua symbol kekuasaan yang menunjukkan kolonial Belanda harus dihapuskan, sementara segala bentuk pergerakan yang aktif pada masa Belanda dilarang. Tidak seperti penguasa sebelumnya, yang membentuk pemerintahan sentralisasi di kepulauan nusantara ini, jepang membagi wilayah Indonesia ke dalam tiga zona administrasi, yaitu :
1.      Di Jakarta untuk mengatur Jawa dan Madura.
2.      Di Singapura yang mengatur Sumatera.
3.      Komando angkatan laut Makassar yang mengatur keseluruhan nusantara di luar tiga pulau terdahulu.
Pada September 1942 pemerintahan Jawa mengeluarkan beberapa peraturan yang dirancang untuk melarang transformasi lembaga peradilan. Sebagai hasilnya, lembaga peradilan sekuler didirikan di mana bentuk peradilan lama diubah namanya dengan menggunakan bahasa Jepang.
Ringkasnya, bukti yang dipresentasikan di atas menguatkan klaim bahwa “situasi yang ada selama masa Jepang pada dasarnya merupakan bentuk pemerintahan status quo (situasi yg menoton). Perubahan-perubahan structural yang dilakukan pemeintah Jepang tidak lebih hanya sekedar kosmetik yang mengubah “warna Belanda”kepada”warna Jepang”. Dengan demikian, tampaknya restrukturisasi lembaga peradilan hanya bertujuan untuk menghilangkan symbol-simbol kekuatan Eropa dari pandangan masyarakat pribumi saja, sementara karakteristik structural yang mendasar dari masyarakat (pemikiran terhadap hukum) tetap tidak ada perubahan apa-apa sampai mereka kalah pada perang Dunia kedua.

D.    Masa Kemerdekaan
1.      Masa Awal Kemerdekaan
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan : “segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”. dalam hal ini termasuk bidang Peradilan Agama.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, atas usul Menteri Agama yang disetujui Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama dengan ketetapan pemerintah Nomor 5 tanggal 25 Maret 1946. Pada masa awal kemerdekaan, terjadi perubahan dalam pemerintahan, tetapi tidak tampak perubahan yang sangat menonjol dalam tata peradilan, khususnya peradilan Agama di Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena bangsa Indonesia dihadapkan kepada revolusi fisik dalam menghadapi Belanda yang kembali akan menjajah. Namun pada aspek jasa terdapat sebuah perubahan, yaitu sebelum merdeka pegawai Pengadilan Agama dan hakim tidak mendapat gaji tetap dari pemerintah, maka setelah merdeka anggaran belanja Pengadilan Agama disediakan pemerintah.
Pada masa berikutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 98 UUD Sementara dan Pasal 1 ayat (4) UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 45 Tahun 1957 tanggal 5 Oktober 1957, tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura. Menurut ketentuan Pasal 1, “Di tempat-tempat yang ada Pengadilan Negeri ada sebuah Pengadilan Agama/mahkamah Syariyah, yang daerah hukumnya sama dengan daerah hukum Pengadilan Negeri”.
Dengan berlakunya PP. 45 Tahun 1957, maka di Indonesia ada tiga macam peraturan tentang susunan dan kekuasaan Peradilan Agama, yaitu
1.      Stbl. 1882 No. 152 jo. Stbl.1937 No.116 dan 610 untuk Jawa dan Madura.
2.      Stbl. 1937 No. 638 dan 639 untuk daerah Kalimantan Selatan.
3.      PP. No. 45 Tahun 1957 ( Lembaran Negara Tahun 1957 No.99 untuk daerah-daerah selain Jawa dan Madura serta Kalimantan Selatan.

2.      Masa Orde Baru
Dalam kurun waktu sekitar 25 tahun sejak kemerdekaan terdapat keanekaragaman dasar penyelenggaraan, kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI. Selanjutnya, tahun 1970-an mengalami perubahan, terutama sejak diundangkan dan berlakunya UU Nomor 14 Tahun 1970 dan UU Nomor 1 Tahun 1974 serta peraturan pelaksanaannya. UU No.14/1970 mengundangkan : “susunan, Kekuasaan dan Acara dari Badan-badan Peradilan Umum, Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara” harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Dengan berlakunya UU Nomor 14 Tahun 1970 memberi tempat kepada PADI sebagai salah satu peradilan dalam tata peradilan di Indonesia yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UU No.14/1974 Pasal 10 ayat (1) mengundangkan : “kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
a.       Tata Usaha Negara
b.      Peradilan Umum
c.       Peradilan Agama
d.      Peradilan Militer.
Peradilan Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menjadi dasar Menteri Agama pada 1980 mengeluarkan keputusan untuk menyeragamakan nama-nama pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dengan sebutan “Pengadilan Agama”, sedangkan uuntuk pengadilan tingkat banding sebutan namanya menjadi “Paengadilan Tinggi Agama” di seluruh Indonesia.

a.       Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Departemen Kehakiman dengan Koordinasi BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) menyediakan anggaran untuk RUU-PA. RUU-PA mengalami perjalanan cukup panjang dari tahun 1975-1988 sebelum diajukan ke DPR.
Pemerintah menyampaikan RUU tentang Peradilan Agama ke DPR dengan amanat (surat) Presiden No. R-06/RU/XII/1988 tanggal 13 Desember 1988 yang isinya agar RUU-PA dibahas dan disetujui oleh DPR. Untuk keperluan pembahasan itu presiden menunjuk Menteri Agama sebagai wakil pemerintah. Pada 28 Januari 1989, DPR mengadakan sidang Paripurna Dewan dengan acara tunggal, mendengarkan keterangan pemerintah seputar  RUU yang disampaikan Menteri Agama H. Munawir Syadzali.
Setelah dibahas secara mendalam, akhirnya pada tanggal 14 Desember 1989, RUU-PA disetujui oleh DPR menjadi Undang-undang Republik Indonesia tentang “Peradilan Agama”. 15 hari kemudian yaitu tanggal 29 Desember 1989, Undang-undang tersebut disahkan menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 oleh Presiden Republik Indonesia, diudangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1989.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 disahkan dan diundangkan tanggal 29 Desember 1989, kemudian ditempatkan dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 Tahun 1989. UU tersebut merupakan salah satu peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan UU Nomor 14 Tahun 1970. Secara umum isi UU tersebut memuat beberapa perubahan tentang penyelenggaraan PADI, yaitu :
a.       Perubahan tentang dasar hukum penyelenggaraan PADI
b.      Perubahan tentang kedudukan PADI dalam tata peradilan nasional
c.       Perubahan tentang kedudukan hakim Peradilan Agama
d.      Perubahan tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI
e.       Perubahan tentang hukum acara Peradilan Agama
f.       Perubahan tentang administrasi Peradilan Agama
g.      Perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.

b.      Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam berhubungan dengan kemajemukan hukum dalam system hukum nasional. KHI berhubungan dengan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang mengalami perubahan penting berkenaan dengan berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989. Secara singkat, KHI dirumuskan dan disebarluaskan untuk memenuhi kebutuhan hukum substansial bagi orang-orang yang beragama Islam. Perumusan KHI didasarkan atas beberapa landasan :
Pertama, landasan historis yang terkait dengan pelestarian hukum Islam di Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, KHI merupakan hukum yang hidup, melalui suatu proses perjalanan yang panjang. Kedua, landasan yuridis yang terkait dengan tuntunan normatif. Ketiga, landasan fungsional yang terkait dengan kebutuhan nyata didalam kehidupan masyarakat yang mengalami perubahan. KHI menurut para penyusunnya adalah fikih Indonesia.
Kehadiran UU tentang Peradilan Agama tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991, peranan Hukum Islam menjadi kokoh. Walaupun kompilasi bukanlah UU, tetapi merupakan petunjuk terhadap UU yang dapat diterapkan oleh para hakim dalam yuridiksi Peradilan Agama dalam memecahkan perkara-perkara yang mereka hadapi.

Labels: