B.
Rumusan
Masalah
Dari pernyataan diatas dapat kita rumuskan masalahnhya:
1. Bagaimana sistem jual beli lelang (muzayadah) ?
2. Bagaimana hukum jual beli lelang (muzayadah) menurut fiqih ?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan ini ialah :
1. Untuk mengetahui bagaimana sistem jual beli lelang.
2. Untuk mengetahui bagaimana hukum jual beli lelang menurut fiqih.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Lelang (Muzayadah)
Lelang Merupakan suatu bentuk penawaran barang kepada penawar yang
pada awalnya membuka lelang dengan harga rendah kemudian semakin naik
sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi sehinga
pada akhirnya penawar dengan harga yang paling tinggi mendapatkan barang
yang dilelangkan.
Lelang juga dapat berupa penawaran barang pada mulanya membuka lelang dengan
harga tinggi, kemudian semakin menurun sampai akhirnya diberikan kepada calon
pembeli dengan tawaran tertinggi yang disepakati penjual melalui juru lelang (auctioneer)
sebagai kuasa penjual untuk melakukan lelang, dan biasanya ditandai dengan
ketukan (disebut lelang turun). Lelang ini dipakai pula dalam praktik penjualan
saham di bursa efek di mana penjual dapat menawarkan harga yang diinginkan,
tetapi jika tidak ada pembeli, penjual dapat menurunkan harganya sampai terjadi
kesepakatan.
Dalam perspektif syariah, transaksi yang
melibatkan proses lelang ini disebut sebagai bay` muzayadah, yang diartikan
sebagai suatu metode penjualan barang dan/ atau jasa berdasarkan harga
penawaran tertinggi.
Pada Bay` muzayadah ini,
penjual akan menawarkan barang dengan sejumlah pembeli yang akan bersaing untuk
menawarkan harga yang tertinggi. Proses ini berakhir dengan dilakukannya
penjualan oleh penjual kepada penawar yang tertinggi dengan terjadinya akad dan pembeli tersebut mengambil
barang dari penjual.
Jual-beli secara lelang tidak termasuk praktik
riba meskipun ia dinamakan bai’ muzayyadah dari kata ziyadah yang
bermakna tambahan sebagaimana makna riba, namun pengertian tambahan di sini
berbeda. Dalam muzayyadah yang bertambah adalah penawaran harga lebih
dalam akad jual beli yang dilakukan oleh penjual atau bila lelang dilakukan
oleh pembeli maka yang bertambah adalah penurunan tawaran. Sedangkan dalam
praktik riba tambahan haram yang dimaksud adalah tambahan yang tidak diperjanjikan
dimuka dalam akad pinjam-meminjam uang atau barang ribawi lainnya.
Lebih jelasnya, praktik penawaran sesuatu yang
sudah ditawar orang lain dapat diklasifikasi menjadi tiga kategori: Pertama;
Bila terdapat pernyataan eksplisit dari penjual persetujuan harga dari salah
satu penawar, maka tidak diperkenankan bagi orang lain untuk menawarnya tanpa
seizin penawar yang disetujui tawarannya. Kedua; Bila tidak ada indikasi
persetujuan maupun penolakan tawaran dari penjual, maka tidak ada larangan
syariat bagi orang lain untuk menawarnya maupun menaikkan tawaran pertama,
sebagaimana analogi hadits Fathimah binti Qais ketika melaporkan kepada Nabi
bahwa Mu’awiyah dan Abu Jahm telah meminangnya, maka karena tidak ada indikasi
persetujuan darinya terhadap pinangan tersebut, beliau menawarkan padanya untuk
menikah dengan Usamah bin Zaid. Ketiga; Bila ada indikasi persetujuan dari
penjual terhadap suatu penawaran meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit,
maka menurut Ibnu Qudamah tetap tidak diperkenankan untuk ditawar orang lain.
B.
Hukum
Lelang(muzayadah) menurut fiqih
Lelang adalah salah satu jenis jual beli dimana penjual menawarkan
barang di tengah keramaian lalu para pembeli saling menawar dengan suatu harga.
Namun akhirnya penjual akan menentukan, yang berhak membeli adalah yang
mengajukan harga tertinggi. Lalu terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil
barang dari penjual.
Dalam kitab-kitab fiqih atau hadits, jual beli lelang biasanya disebut dengan
istilah bai’ al-muzayadah (adanya penambahan). Hukum lelang Dalam syariat Islam
masih dalam tahap kontropersi yaitu ada diantaranya yang menyatakan boleh dan
ada juga yang Mengatakan makruh hukmnya.
a.
Pendapat Ulama Madzhab yang membolehkan Jual Beli Dengan
Sistem Lelang
Jual beli model lelang (muzayyadah) dalam hukum Islam adalah boleh mubah.
Di dalam kitab Subulus salam disebutkan Ibnu Abdi Dar berkata,
”Sesungguhnya tidak haram menjual barang kepada orang dengan adanya penambahan
harga (lelang), dengan kesepakatan di antara semua pihak.
Menurut Ibnu Qudamah Ibnu Abdi Dar
meriwayatkan adanya ijma’ kesepakatan ulama tentang bolehnya jual-beli
secara lelang bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku di pasar umat Islam
pada masa lalu. Sebagaimana Umar bin Khathab juga pernah melakukannya demikian
pula karena umat membutuhkan praktik lelang sebagai salah satu cara dalam jual
beli.
Dalil bolehnya lelang adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan juga Imam Ahmad.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ فَقَالَ لَكَ فِي
بَيْتِكَ شَيْءٌ قَالَ بَلَى حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ
وَقَدَحٌ نَشْرَبُ فِيهِ الْمَاءَ قَالَ ائْتِنِي بِهِمَا قَالَ فَأَتَاهُ بِهِمَا
فَأَخَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ
قَالَ مَنْ يَشْتَرِي هَذَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ قَالَ
مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ رَجُلٌ أَنَا
آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ
فَأَعْطَاهُمَا الْأَنْصَارِيَّ
Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang
lelaki Anshar yang datang menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu kepada Nabi
saw. Nabi saw bertanya kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki
itu menjawab,”Ada. sepotong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas
duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi saw berkata,”Kalau begitu,
bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi saw
bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya
mau membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi saw bertanya lagi,”Ada yang mau
membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi saw menawarkannya hingga dua atau
tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,”Aku mau membelinya
dengan harga dua dirham.” Maka Nabi saw memberikan dua barang itu kepadanya dan
beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki Anshar
tersebut.
Untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran hak, norma dan
etika dalam praktik lelang maupun praktek jual beli yang lain, syariat Islam
memberikan panduan dan kriteria umum sebagaigaris petunjuk diantaranya.
1.
Transaksi dilakukan oleh
pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela (’an taradlin).
2.
Objek lelang atau barang
yang diperjual belikan harus halal dan bermanfaat.
3.
Kepemilikan penuh pada
barang atau jasa yang dijual.
4.
Kejelasan dan transparansi
barang atau jasa yang dilelang atau yang diperjual belikan tanpa adanya
manipulasi seperti window dressing atau lainnya.
5.
Kesanggupan penyerahan
barang dari penjual kepada Pembeli.
6.
Kejelasan dan kepastian
harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan perselisihan.
7.
Tidak menggunakan cara
yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk menangkan lelang dan tawar-menawar
harga.
b.
Pendapat
ulama madzhab yang melarang jual beli dengan sistem lelang
Salah satu ulama dari kalangan mahdab hanafi, sebenarnya ada sebagian kecil
ulama yang keberatan seperti An-Nakha’i, dan Al-Auza’i mengatakan bahwa hukum
jual beli secara lelang hukumnya makruh secara mutlak.
Sedangkan Hasan Al Basri, Ibnu Sirin dan ulama
yang lain berpendapat bahwa jual-beli secara lelang hukumnya makruh terkecuali
terhadap 2 masalah, yaitu masalah qhonimah (harta rampasan perang)
dan waris. Qhonimah
bisa berupa barang selain uang,
sehingga agar barang tersebut berwujud uang agar bisa dibagi-bagi maka
diperbolehkan untuk di lelang. Sebagai contoh misalnya terdapat harta rampasan
perang berupa senjata. Maka agar senjata tersebut bisa dibagi-bagi maka
diperbolehkan dijual dengan cara lelang. Termasuk juga harta warisan. Umumnya
harta warisan tidak selalu berbentuk uang tunai (misal tanah, rumah, kendaraan
dll), sehingga untuk memudahkan pembagian warisan diperbolehkan untuk di
lelang. Para ulama tersebut mengkategorikan lelang hukumnya makruh karena
terdapat hadist :
Pertama, hadist yang menyatakan bahwa Rasulullah melarang jual beli
secara lelang.
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع المزايدة
Artinya:“Aku mendengar
Rasulullah saw melarang jual beli lelang. (HR Al-Bazzar)”. Imam Ibnu
Hajjar didalam kitabnya menyatakan bahwa hadist tersebut dhoif maka hadist
tersebut tidak bisa dijadikan landasan hukum. Sehingga para ulama tersebut
menyatakan hukum lelang adalah makruh dan tidak sampai mengharamkannya.
Kedua, bahwa Rasulullah melarang seseorang membeli barang yang
sudah ditawar oleh saudaranya atau orang lain (sama halnya ketika Rasulullah
melarang mengkhitbah wanita yang sedang di khitbah oleh orang lain/saudaranya).“Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW melarang seseorang di
antara kalian membeli sesuatu yang sedang dibeli oleh saudaranya hingga dia
meninggalkannya, kecuali rampasan perang dan waris.
Lelang juga tidak diperkenankan jika terdapat kecurangan atau
penipuan (Misalnya dalam proses lelang terdapat persekongkolan 2 sampai 3 orang
atau lebih yang bersepakat menawar sebuah barang).
Segala bentuk rekayasa curang untuk mengeruk keuntungan tidak sah
dalam praktik lelang maupun dikategorikan para ulama dalam praktik Najasy
(komplotan/trik kotor lelang) yang diharamkan Nabi saw. (HR. Bukhari dan
Muslim) atau juga dapat dimasukkan dalam kategori Risywah (sogok) bila penjual
atau pembeli menggunakan uang, fasilitas ataupun service untuk memenangkan
lelang yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria yang dikehendaki mitranya bisnisnya.
Untuk itu, menurut jumhur ulama memakruhkan jual beli dengan proses
lelang, karena bisa mengandung unsur-unsur atau trik-trik penipuan dan
persekongkolan untuk memanipulasi barang dagangan.
PENUTUP
Simpulan
Dalam transaksi keuangan Islam, harga
ditentukan atas dasar keinginan pembeli dan penjual. Dalam banyak hal, barang
akan terjual kepada pembeli yang menawar dengan harga yang tertinggi. Dalam
perspektif syariah, transaksi yang melibatkan proses lelang ini disebut sebagai
bay`
muzayadah, yang diartikan sebagai suatu metode penjualan barang
dan/ atau jasa berdasarkan harga penawaran tertinggi.
Lelang ada dalam Islam dan hukumnya boleh
(mubah).Dalil bolehnya lelang adalah as-Sunnah. Imam Bukhari telah membuat bab
dengan judul Bab Bai’ Al-Muzaayadah dan di
dalamnya terdapat hadits Anas bin Malik RA yang juga diriwayatkan oleh Imam
Ahmad (Musnad,
III/100 & 114), Abu Dawud, no. 1641; an-Nasa`i,
VII/259, at-Tirmidzi, hadits no. 1218.
DAFTAR PUSTAKA
Suheri, Fikih Muamalah
Islam, http://suherilbs.wordpress.com/fiqih/ (diakses pada tanggal 28 April)
Otomo, Setiawan Budi, Hukum
lelang dan Tender, http://ekisopini.blogspot.com/2009/08/hukum-lelang-dan-tender.html (diakses pada tanggal 28 April)
Sarwat, Ahmad, Lelang
dalam tinjauan Syariat, http://kajiankantor.com/blog/2010/04/20/lelang-dalam-tinjauan-syariat/ (diakses pada tanggal 28 April)
Hanniah, Rafiqatul, Lelang
dalam pandangan Islam,
http://rafiqatul-hanniah.blogspot.com/2012/03/lelang-dalam-pandangan-islam.html
(diakses pada tanggal 28 April)
http://dc432.4shared.com/doc/R7eDkxxO/preview.html
(diakses pada tanggal 29 April)
Ma’ruf, farid, Jual Beli
Lelang, http://faridmaruf.wordpress.com/2007/02/13/jual-beli-lelang/ (diakses pada tanggal 29 April)