Nama : Mujiburrahman
Nim : 1001110057
Jurusan : Akhwal al- Syaksiyah
Mata kuliah : Tafsir Ahkam B
A.
Ayat
dan Terjemah
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/
spsW»n=rO &äÿrãè%
4
wur
@Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3t $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä.
£`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4
£`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur&
$[s»n=ô¹Î)
4
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4
ÉA$y_Ìh=Ï9ur
£`Íkön=tã
×py_uy 3
ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Artinya : Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[142]. tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan
tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143].
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
[142] Quru' dapat diartikan Suci atau haidh.
[143] hal Ini disebabkan Karena suami bertanggung
jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga (lihat surat An
Nisaa' ayat 34).
B.
Asbabun
Nuzul
Asbabun
nuzul surah Al Baqarah ayat 228 ini adalah Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Abi Hatim yang
bersumber dari Asma binti Yazid bin As-Sakan: Bahwa
Asma binti Yazid As-Sakan Al-Anshariyyah berkata mengenai turunnya ayat
tersebut di atas (Al-Baqarah : 228) sebagai berikut: “Aku ditalak oleh suamiku
di zaman Rasulullah Saw disaat belum ada hukum ‘iddah bagi wanita yang ditalak,
maka Allah menetapkan hukum ‘iddah bagi wanita yaitu menunggu setelah bersuci
dari tiga kali haid”.
Diriwayatkan oleh At-Tsa’labi dan Hibatullah
bin Salamah dalam kitab An-Nasikh yang bersumber dari Al-Kalbi yang bersumber
dari Muqatil: Bahwa Ismail bin
Abdillah Al-Ghaifari menceraikan istrinya Qathilah di zaman Rasulullah Saw, Ia
sendiri tidak mengetahui bahwa istrinya itu hamil. Setelah ia mengetahuinya, ia
rujuk kepada istrinya. Istrinya melahirkan dan meninggal, demikian juga
bayinya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Al-Baqarah : 228) yang menegaskan
betapa pentingnya masa iddah bagi wanita, untuk mengetahui hamil tidaknya
istri.
C.
Penjelasan
Ayat
Maksudnya, wanita-wanita
yang ditalak oleh suami-suami mereka. { يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ } "hendaklah menahan
diri (menunggu)", artinya, hendaklah mereka menunggu dan menjalani iddah selama, {
ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ } "tiga kali quru'”, yaitu haidh atau suci
menurut perbedaan pendapat para ulama tentang maksud dari quru' tersebut,
walaupun yang benar bahwa quru' itu adalah haidh.
Iddah ini memiliki
beberapa hikmah, di antaranya adalah mengetahui tidak kosongnya rahim, yaitu
apabila telah berulang-ulang tiga kali haidh' padanya maka diketahui bahwa
dalam rahimnya tidak terjadi kehamilan hingga tidak akan membawa kepada
tercampurnya nasab. Karena itu Allah mewajibkan atas mereka untuk memberitahu
tentang, { مَاخَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ } "apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya" Dan Allah mengharamkan bagi
mereka menyembunyikan hal itu, baik kehamilan maupun haidh, karena
menyembunyikan hal itu akan menyebabkan kemudharatan yang sangat banyak.
Menyembunyikan kehamilan
berkonsekuensi dinasabkannya janin kepada orang yang bukan haknya yang boleh
jadi tidak menginginkannya atau mempercepat habisnya masa Iddah. Apabila
diikutkan (dinasabkan) kepada terputusnya keluarga, warisan, dan mahram-mahram
dan karib kerabatnya terhalang darinya, dan bisa saja suatu saat ia menikahi
salah seorang dari mahramnya dan akan terjadi kepada selain ayahnya dan
tetapnya hal-hal yang mengikutinya seperti warisan darinya atau untuknya, dan
orang yang menjadikan seorang yang dinisbatkan kepadanya itu sebagai karib
kerabatnya, di mana dalam hal itu terjadi keburukan dan kerusakan yang tidak
diketahui kecuali oleh Rabb manusia. Semua mudharat itu akan terjadi kalau ia
tinggal bersama laki-laki yang menikahinya secara
batil, Dimana dalam hal itu juga ada perbuatan dosa besar secara terus menerus
yaitu zina, maka itu saha cukup sebagai suatu keburukan.
Adapun menyembunyikan
haidh, apabila ia mempercepat (waktu sucinya) lalu ia mengabarkannya, padahal
ia dusta, maka itu tindakan menghilangkan hak suami darinya dan halalnya
dirinya untuk selain suaminya dan segala hal yang disebabkan olehnya dari
keburukan sebagaimana yang telah kami sebutkan. Dan jika ia berdusta dan
mengabarkan bahwa ia tidak haidh untuk menambah panjang masa iddahnya untuk
dapat mengambil nafkah dari suaminya yang tidak wajib atasnya, akan tetapi dia
hanya ingin terus mendapatkannya, maka nafkah itu haram dari dua sisi: bahwa
nafkah yang diambilnya itu bukanlah haknya, dan menisbatkan hal itu menjadi
bagian hukum syariat padahal ia berdusta, dan kemungkinan saja suaminya ruju'
kepadanya setelah habis masa iddahnya hingga hal itu menjadi sebuah tindakan
perzinahan, karena kondisinya telah menjadi wanita asing (ajnabiyah) baginya.
Karena itu Allah Ta’ala berfirman, [ وَلاَيَحِلُّ لَهُنَّ أَن
يَكْتُمْنَ مَاخَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ] "Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari
Akhir".
Terjadinya tindakan
menyembunyikan (haidh dan kehamilan) dari mereka adalah sebuah dalil atas tidak
adanya iman mereka kepada Allah dan Hari Akhir, dan bila tidak atau sekiranya
mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan mereka mengetahui bahwa mereka
pasti diberikan balasan dari amalan-amalan mereka niscaya tidak akan terjadi
pada mereka sesuatu pun dari hal itu. Ayat ini juga dalil atas diterimanya
informasi dari seorang wanita tentang kabar yang mereka informasikan tentang
diri mereka dari perkara yang tidak diketahui oleh selain mereka seperti
kehamilan, haidh dan lain sebagainya.
Kemudian Allah
berfirman, { وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذلِكَ } "Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu", artinya,
untuk suami-suami mereka selama mereka masih menunggu masa iddah agar suami
mereka mengembalikan mereka kepada pernikahan (awal), { إِنْ أَرَادُوا
إِصْلاَحًا } "jika mereka (para suami) menghendaki ishlah", yaitu
keinginan, kelembutan dan cinta kasih. Makna ayat ini adalah bahwasanya bila
mereka tidak menginginkan perbaikan maka mereka tidaklah berhak kembali kepada
pernikahan dengan istri mereka. Maka tidaklah halal bagi mereka kembali kepada
istri-istri mereka dengan maksud menimbulkan mudharat bagi mereka dan
memperpanjang lagi masa iddahnya. Apakah suami memiliki hak dengan maksud yang
seperti itu? Dalam masalah ini ada dua pendapat; Kebanyakan para ulama
berpendapat bahwa ia memiliki hak tetapi hukumnya haram. Yang shahih adalah
apabila ia tidak menghendaki perbaikan maka ia tidak memiliki hak sebagaimana
zhahir redaksi ayat tersebut. Ini adalah hikmah lain dari masa menunggu
tersebut, yaitu bahwa mungkin saja suaminya menyesal berpisah dengannya hingga
masa iddah ini dijadikan waktu untuk berfikir matang dan memutuskan
ketetapannya. Ini menunjukkan kepada kecintaan Allah Ta’ala kepada adanya kasih
sayang di antara kedua suami istri dan kebencianNya terhadap perpisahan
sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَبْغَضُ اْلحَلاَل
إِلَى اللهِ الطَّلاَقُ "Perbuatan halal yang paling dibenci oleh
Allah adalah thalaq" (Dikeluarkan oleh Abu Daud no. 2178, Ibnu
Majah no. 2018, al-Hakim 2/196, dari hadits Muharib bin Ditsar dari Ibnu Umar.
Al-Hafizh berkata dalam at-Talkhish 3/232, dan diriwayatkan oleh Abu Daud dan
al-Baihaqi secara mursal dan tidak ada padanya Ibnu Umar, Abu Hatim dan
ad-Daruquthni serta al-Baihaqi menguatkannya kemursalannya". Sanadnya yang
mursal dishahihkan dalam al-Ilal al-Albani dalam al-Irwa 7/106.).
Ini adalah khusus pada
talak satu dan dua (thalaq raj'i), adapun talak ketiga, maka seorang suami
tidak berhak untuk kembali kepada istrinya yang telah ditalak, namun bila
mereka berdua sepakat untuk kembali bersama maka harus melakukan akad yang baru
yang terpenuhi syarat-syaratnya.
Kemudian Allah
berfirman, { وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ } "Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf ", maksudnya, para wanita memiliki hak yang wajib atas
suami-suami mereka sebagaimana para suami memiliki hak yang wajib maupun yang
sunnah atas mereka, dan patokan bagi hak-hak di antara suami istri adalah pada
yang ma'ruf yaitu menurut adat yang berlaku pada negeri tersebut dan pada masa
itu dari wanita yang setara untuk laki-laki yang setara, dan hal itu berbeda
sesuai dengan perbedaan waktu, tempat, kondisi, orang dan kebiasaan. Di sini
terdapat dalil bahwa nafkah, pakaian, pergaulan dan tempat tinggal, demikian
juga berjima', semua itu kembali kepada yang ma'ruf, dan ini juga merupakan
konsekuensi dari akad yang mutlak, adapun bila dengan syarat, maka menurut
syarat tersebut kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan
yang halal.
{ وَلِلرِّجَالِ
عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ } "Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan lebih daripada istrinya", artinya, ketinggian, kepemimpinan
dan hak yang lebih atas dirinya,
Kedudukan kenabian,
kehakiman, imam masjid (shalat) maupun kekhalifahan dan segala kekuasaan adalah
khusus bagi laki-laki, dan juga mempunyai hak dua kali lipat dari hak kaum
wanita dalam banyak perkara seperti warisan dan semacamnya.
{ وَاللهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ } "Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana".Maksudnya,
Allah memiliki keperkasaan yang kuat dan kekuasaan yang agung di mana segala
sesuatu tunduk kepadaNya. Akan tetapi bersama keperkasaanNya Allah juga
bijaksana dalam segala tindakanNya.
Dan tidak termasuk dalam keumuman ayat ini
adalah wanita-wanita hamil, karena iddah mereka adalah melahirkan bayinya, dan
wanita-wanita yang belum dicampuri suaminya, mereka tidak memiliki iddah, juga
hamba sahaya, karena iddah mereka adalah dua haidh sebagaimana perkataan
sahabat radhiallahu ‘anhu, sedangkan konteks ayat menunjukkan bahwa yang
dimaksud di sana adalah wanita yang merdeka.
D.
Kesimpulan Kandungan
Hukum
Al
qur’an Surah Al baqarah ayat 228 ini, menjelaskan tentang Iddah perempuan yang
bercerai dengan suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang
hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak, wajib menjalani masa iddah itu.
Kewajiban menjalani masa iddah dapat dilihat dari beberapa ayat Al qur’an, di
antaranya adalah Surah Al Baqarah ayat 228 ini.
Kandungan
hukum ayat ini selain yang pertama wajibnya menunggu masa iddah bagi seorang
wanita yang di Talak yaitu tiga kali quru’ (tiga kali haid atau tiga kali suci
dari haid). Yang kedua, kuatnya dorongan atau keinginan seorang wanita untuk
menikah lagi. Yang ketiga, diharamkan bagi seorang wanita yang dicerai
menyembunyikan apa yang ada didalam rahimnya baik berupa haid atau kehamilan
yang Allah ciptakan dalam rahim tersebut, karena akan menimbulkan mafsadat
sebagaimana yang akan dijelaskan di atas. Yang keempat, adanya hak mutlak bagi
suami untuk ruju’ kepada istrinya sebelum habisnya masa iddah. Yang kelima,
tidak di halalkan wanita itu di khitbah atau di nikahkan dengan laki-laki lain
selama menjalani masa iddah. Yang ke enam, tidak dibolehkan bagi mantan suami
ruju’ setelah habis masa iddah, kecuali dengan akad nikah yang baru. Yang
ketujuh, Adanya penetapan
kepemimpinan dan keutamaan seorang laki-laki terhadap wanita, karena Allah
telah memberikan kepada mereka kaum laki-laki kelebihan-kelebihan dan
keistimewaan tersendiri yang tidak diberikan kepada kaum wanita.
E.
Daftar
Pustaka
Qur’an in word,
microsofc word 2007.
Asbabun-Nuzul.blogspot.com.
Syarifuddin, Amir,
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta, kencana, 2004).
Labels: Kuliah