Ø Sistem
hukum merupakan sistem yang logis, tetap, bersifat tertutup, dan didalamnya
keputusan-keputusan hukum yang tepat/benar biasanya dapat diperoleh dengan
alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan
sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran
moral.
Ø Pertimbangan-pertimbangan
moral tidak dapat dipertahankan sebagai pernyataan yang harus dibuktikan dengan
argumentasi rasional, pembuktian, atau percobaan (pengujian).
2.
Aliran Positivisme Hukum
Pragmatik.
Positivisme
pragmatik, sebagai gerakan kaum realis Amerika, merupakan lawan dari teori
Austin. Pragmatisme melihat hukum-hukum sebagai karya dan fungsi bukan sebagai
yang tertulis diatas kertas. Pragmatisme merupakan rumusan baru dari filsafat.
Ia mendorong pendekatan baru pada hukum.
Inti
dari pendekatan pragmatis pada problema-problema hukum adalah tidak mengikuti
apa yang tercatat diatas kertas. Sudah tentu ini sangat umum sifatnya. Untuk
mengkonkretkan apa yang ada dalam pikirannya, para realis berbalik pada
ilmu-ilmu pengetahuan yang mulai mengamati perilaku manusia dalam masyarakat,
terutama ekonomi, kriminalogi, sosiologi umum, dan psikologi, dan mencoba
memanfaatkannya bagi ilmu hukum.
B. Filsafat Hukum Islam
Didalam
Oxford English Dictionary, Hukum adalah: “Sekumpulan aturan, baik yang
berasal dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa
tertentu sebagai mengikat bagi anggotanya”. Bila Hukum dihubungkan dengan
Islam, maka Hukum Islam berarti: “Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah
dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf diakui dan diyakini
berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”. Dari definisi yang
dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa hukum Islam mencakup Hukum Syariah dan
Hukum Fiqih, karena arti syariah dan fiqih terkandung didalamnya.
Kata Hukum Islam tidak ditemukan sama sekali didalam al-Qur’an dan literatur
hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-Qur’an adalah kata syariah, fiqih, hukum
Allah dan yang seakar dengannya.
Menurut
Mustafa Abdul Raziq bahwa ilmu ushul fiqih adalah ilmu Filsafat Hukum Islam.
Filsafat hukum Islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam. Ia
merupakan filsafat khusus dan obyeknya tertentu, yaitu hukum Islam. Maka
filsafat hukum Islam yang menganalisis hukum Islam secara metodis dan
sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis
hukum Islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya. Menurut Azhar
Basyir, filsafat hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematis, dapat
dipertanggung jawabkan dan radikal tentang hukum Islam.
Dengan
rumusan lain, filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia,
dan tujuan hukum Islam baik yang menyangkut materinya maupun proses
penetapannya, atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan, dan
memelihara hukum Islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah
menetapkannya dimuka bumi, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya.
Dengan filsafat ini hukum Islam akan benar-benar “cocok sepanjang masa
disemesta alam”
Sumber
utama hukum Islam adalah al-Qur’an dan al-Sunnah. Terhadap segala permasalahan
yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum muslimin diperbolehkan
berijtihad dengan mempergunakan akalnya guna menemukan ketentuan hukum. Dalil
yang menjadi landasan berijtihad adalah hadis Nabi SAW, ketika mengutus Mu’adz
ibn Jabal sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ مِنْ أهْلِ حِمْصِ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذَ بْنِ
جَبَلٍ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثُ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ
قَالَ: كَيْفَ تَقْضِيْ إِذَا عُرِضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ: أَقْضِيْ بِكِتَابِاللهِ.
قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ.
قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فِى كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ:
أَجْتَهِدْ رَأْيِيْ وَلاَ اٰلَوْ. فَضَرَبَ رَسُوْلِ اللهِ صَدْرَهُ وَ قَالَ: الْحَمْدُللهِ
الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ اللهِ لِمَا يَرْضَى رَسُوْلُ اللهِ
“Diriwayatkan
dari sekelompok penduduk Homs, sahabat Mu’adz ibn Jabal, bahwa Rasulullah SAW.
Ketika bermaksud untuk mengutusnya ke Yaman, beliau bertanya, “apabila
dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana anda memutuskannya” ? Mu’adz
menjawab:”Saya akan memutuskannya berdasarkan al-Qur’an”. Nabi bertanya lagi,
“Jika kasus itu tidak anda temukan dalam al-Qur’an”? Mu’adz menjawab, “ Saya
akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya,
“Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan al-Qur’an”?, Mu’adz
menjawa, “Aku akan berijtihad dengan sungguh-sungguh”. Kemudian Rasulillah
menepuk-nepuk punggung Mu’adz dengan tangan beliau, seraya berkata: “Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah
terhadap jalan yang diridhainya”. (HR. Abu Daud)
Jadi,
berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum Islam, yang pada
hakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu, direstui oleh Rasulullah. Bahkan
lebih tegas lagi Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal dan pikiran atau
berfikir falsafi itu sangat perlu dalam memahami berbagai persoalan. Allah
berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 179 yang artinya:
“Dan
dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertaqwa”.
Ayat
diatas menunjukkan bahwa mempergunakan akal pikiran untuk menangkap makna yang
terkandung dalam syari’at sesuai dengan petunjuk al-Qur’an termasuk yang
dianjurkan. Pemikiran yang mendalam tentang syari’at atau hukum Islam
melahirkan filsafat hukum Islam. Izin Rasulullah kepada Mu’adz untuk berijtihad
diatas merupakan awal lahirnya filsafat hukum Islam.
Syari’ah
merupakan kumpulan hukum-hukum Allah. Allah mengkombinasikan hukum sebagai
adanya dan hukum sebagai yang seharusnya, sekaligus mempertahankan perintah dan
keadilan. Sebagai perintah Tuhan, Penguasa Tertinggi yang tidak berubah,
syari’ah adalah hukum positif, dan karena keadilan menjadi tujuan puncaknya,
syari’ah ideal. Tepatlah pernyataan bahwa hukum Islam itu adalah “hukum positif
dalam bentuk ideal”.
Positivisme
dalam hukum Islam, benar-benar harmonis antara satu sama lain. Pernyataan ini
sesuai dengan firman Allah: “Allah menurunkan Kitab dengan membawa kebenaran
dan neraca”.(QS. Asyura’: 17). “Demi jiwa dan penyempurnaan
(pencipta)-nya, kemudian Ia mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan
ketaqwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang mensucikannya. Sebaliknya,
sungguh merugi orang yang mengotorinya”, (QS. Al-Syams: 7-10).
Hukum
Islam, dengan demikian, merupakan hukum yang bersumber dari wahyu Tuhan,
sekaligus melibatkan penalaran dan analisis manusia yang memahami wahyu itu.
Ijtihad yang dilakukan oleh para Yuris muslim merupakan bukti kongkrit
keterlibatan manusia dalam menggali hukum yang hidup dalam masyarakat.