B.
Harta warisan menurut hukum adat waris parental
Harta warisan, yaitu sejumlah harta kekayaan
yang ditinggalkanoleh seseorang yang meninggal dunia yang terdiri atas:
a.
Harta asal
Harta asal adalah kekayaan yang dimiliki oleh
seseorang yangdiperoleh sebelum maupun selama perkawinan dengan cara pewarisan,hibah,
hadiah, turun-temurun.
b.
Harta bersama
Harta bersama, ataugono-gini
C. Ahli waris dalam hukum adat waris
parental
a.
Sedarah dan Tidak Sedarah
Ahli waris adalah ahli waris sedarah dan yang
tidak sedarah.Ahli waris yangsedarah terdiri atas anak kandung, orang
tua,saudara, dan cucu. Ahli waris yang tidak sedarah, yaitu anak
angkat, janda/duda. Di daerah Cianjur, seorang anak angkat adalah ahli
waris,apabila pengangkatannya disahkan oleh pengadilan negeri.
Jenjang atau urutan ahli waris adalah: Pertama,
anak/anak.Kedua, orang tua apabila tidak ada anak, dan Ketiga, saudara/saudara
kalau tidak ada orang tua.
b.
Kepunahan atau nunggul pinang
Ada kemungkinan seorang pewaris tidak mempunyai
ahliwaris(punah)atau lazim disebutnunggul pinang. Menurut ketentuanyang berlaku
di daerah Kabupaten Bandung, Banjar, Ciamis, Kawali,Cikoneng, Karawang Wetan,
Indramayu, Pandeglang, apabila terjadinunggul pinang, barang atau harta
peninggalan akan diserahkankepada desa. Selanjutnya desalah yang akan
menentukan pemanfaatanatau pembagian harta kekayaan tersebut. Di Pandeglang
kalau pewarismati punah, harta warisan jatuh kepada desa atau mungkin juga
padabaitulmaal,masjid atau wakaf. Di daerah Kabupaten Cianjur,kekayaan seorang
yang meninggal tanpa ahli waris, selain diserahkankepada desa, mungkin
diserahkan kepadabaitulmaalatau kepadaorang tidak mampu.Di Kecamatan Kawali,
selain diserahkan ke desadapat juga diserahkan kepada yayasan sosial. Pengadilan
Negeri Indramayu yang dikukuhkan oleh PengadilanTinggi Jawa barat di Bandung,
memutuskan:“Apabila seseorang tidak mempunyai anak kandung,
makakeponakan-keponakannya berhak mewarisi harta peninggalannya yangmerupakan
barang asal atau barang yang diperolehnya sebagai warisanorang tuanya”. (PN.
Indramayu tanggal 28 Agustus 1969,No.36/1969/Pdt., PT. Jabar di Bandung tanggal
23 Januari 1971,Nomor 507/ 1969/Perd/PTB.
D.
Anak
angkat dan Perkawinan poligami
dalam hukumadat parental
a.
Anak angkat
Pengadilan Negeri Indramayu dan Pengadilan
Tinggi JawaBarat di Bandung pernah memutuskan, bahwa:"Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang
tuaangkatnya, yang bukan barang asal atau barang warisan".(PN.Indramayu
tanggal 8 September 1969, No. 24/1969/Perd., P.T.Bandung tanggal 14 Mei 1970, Nomor 511/l969/Perd).
b.
Ahli waris dalam perkawinan poligami
Dalam hal si pewaris beberapa kali kawin dan
meninggalkananak sah dari tiap perkawinan itu, maka harta peninggalan bersama yang
dikuasai oleh janda yang masih hidup terakhir tidak dibagikankepada semua anak
dari tiap isteri (sehingga hanyalah anak yang sahdaripada janda yang
bersangkutan, yang menjadi ahli waris harta bersama).(PN Indramayu tanggal 15
September 1969 Nomor 23/1969/Pdt., PTBandung tanggal 29 Januari 1971, No.
218/1969/Perd/PTB).
c.
Kehilangan
hak mewaris
Ada kemungkinan terjadi, seorang pewaris
mempunyai ahliwaris, tetapi ada di antara ahli waris atau seluruh ahli waris
tersebutkehilangan hak untuk mewarisi harta peninggalan pewaris. Dalam
halkehilangan hak mewaris ini, bagi mereka yang beragama Islam,nampak pengaruh
ajaran Islam sangat menonjol.Seorang ahli waris akan kehilangan hak mewaris
karena alasan:
a)Ahli waris atau para ahli waris membunuh
pewaris (Banjar,Ciamis, Cikoneng, Leuwiliang, Cileungsi, Cianjur); atau
b)Ahli waris atau para ahli waris berpindah
agama (Cisarua,Leuwiliang, Cileungsi, Banjar, Ciamis, Cikoneng, Cianjur).
Di Cikoneng, selain karena
alasanmembunuhpewaris ataupindah agama(murtad),seorang ahli waris dapat
kehilangan hakmewaris karena alasanpegat waris. Di daerah
Cianjur, seorang ahliwaris tidak akan kehilangan hak mewaris karena alasan
tidak menurut(bandel), atau karena melakukan perkawinan tanpa restu pewaris(teudoa).
Perlu diperhatikan perbedaan antara kepunahan(nunggul pinang)dengan kehilangan hak
mewaris. Dalam kehilangan hak mewaris, pewaris mempunyai ahli waris. Hanya
karena alasan tertentuahli waris tidak berhak menerima harta peninggalan
pewaris. Tetapikemungkinanterdapat persamaan akibatantara nunggul pinangdengan
kehilangan hak mewaris. Apabila ahli waris tunggal atau paraahli waris dan
mereka ini secara keseluruhan kehilangan hak mewaris,maka harta peninggalan akan
tetap tidak dibagi. dalam kasusseperti ini, harta peninggalan tersebut dapat
diserahkan kepadalembaga atau badan-badan seperti: Desa, Baitulmaal, Yayasan
Sosial,dan sebagainya
d.
Penggantian
tempat ahli waris
Dengan kekecualian pada daerah Cikoneng
KecamatanKertasemaya (Indramayu), lembaga (pranata) penggantian tempatdikenal
hampir di semua daerah penelitian. Penggantian tempat terjadi,apabila seorang
ahli waris meninggal terlebih dahulu dari si pewaris.
Seorang anak yang meninggal terlebih dahulu
dari orangtuanya, maka hak anak tersebut sebagai ahli waris dapat
digantikanoleh anaknya (cucu pewaris); (Leuwiliang, Cileungsi, Banjar, Ciamis,Kawali,
Cianjur, Bandung, Pandeglang, Karawang, Indramayu, danBekasi). Dapat pula
digantikan olehsaudara pewaris(Ciamis,Cianjur, Banjar, Cisarua, Kawali). Di
Karanganyar (KecamatanIndramayu) cucu pewaris dari anak perempuan tidak
bisamenggantikan tempat ibunya.
Lembaga (pranata) penggantian tempat semacam
ini,tidak dikenal di daerah Kecamatan Cikoneng. Di daerah CianjurBandung,
Kecamatan Karawang, Pandeglang, Tulungagung, KliwedKecamatan
Kertasemaya-Indramayu, ada kemungkinan seorang anak (sebagai cucu pewaris)
tidak menggantikan tempat orang tua(Bapak/Ibu mereka) sebagai ahli waris
pengganti. Tetapi seorang cucu menerima bagian berdasarkan rasa kasih sayang
dari para ahli warisyang ada(saasihna).
Penggantian tempat selalu dikaitkan dengan ahli
warisyang meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Apakah penggantiantempat ini
dapat juga terjadi apabila seorang ahli waris karena satu danlain hal
kehilangan hak mewaris, sehingga kedudukannya sebagai ahliwaris dapat
digantikan oleh anaknya (cucu pewaris).
e.
Penetapan
Ahli Waris
Ada beberapa yurisprudensi mengenai masalah penetapanahli waris.
Putusan-putusan Mahkamah Agung, Pengadilan TinggiJawa Barat di Bandung,
Pengadilan Negeri Indramayu, PengadilanNegeri Purwakarta, dan Pengadilan Negeri
Pandeglang, padaprinsipnya menyatakan, bahwa suatu gugatan penetapan ahli
warisdapat dikabulkan apabila tergugat mengakui atau tidak membantahatau tidak
menyangkal penggugat sebagai ahli waris.
E.
Rintisan Hukum
Positif mengenai Sistem Waris Parental
Pada
dasarnya masyarakat indonesia berada dalam kebhinekaan dalam arti yang sangat
luas. Hal ini menyangkut agama, bentuk masyarakat: juga menyangkut hukum yang
hidup dan bertumbuh didalamnya, teristimewa hukum waris. Upaya dan
langkah-langkah penting ini telah dilakukan oleh bangsa indonesia melalui
ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS). Dalam hal ini
Prof. Mr. Dr. Hazairin, SH, menegaskan: “mengapa hukum kewarisan Nasional itu
meski parental ? jawabnya ialah oleh karena kita terikat kepada ketetapan MPRS
tanggal 3 Desember 1960 No. II itu. Dimana disebutkan 402 huruf c sub 4 alinea a : sebagai warisan untuk
anak-anak dan janda. Apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak dan
janda. Terang bahwa si mati adalah seorang laki-laki. Dalam sistem matrilineal
laki-laki tidak diwarisi oleh anaknya. Dalam sistem Patrilineal laki-laki hanya
diwarisi olehnya yang laki-laki, tidak mungkin ooleh anaknya perempuan, walau
anak perempuan itu tidak kawin jujur.
Dalam
perumusan alinea a itu juga disebut janda sebagai ahli waris mendiang suaminya. Rakyat islam
sudah lama mengenal dari hukum agamanya hak saling mewaris diantara suami
istri, walaupun hak tersebut tidak tegas dikenal dalam hukum adat. Hukum adat
hanya mengenal bagian janda, bagian janda itu sebesar bagian anak tetapi yang
dibagi bukan harta peninggalan si mati saja,tetapi seluruh harta (harta bawaan
si suami, si istri, dan harta bersama antara suami dan istri dirangkum menjadi
satu). Begitupun juga sebaliknya.
Sistem
parental yang ideal menghendaki supaya si mati diwarisi oleh anak-anaknya dan
jandanya atau dudanya. Perumusan alinea a itu tidak menentukan bagian-bagian
untuk anak dan untuk janda (duda). Rumusan terbuka sangat baik, sebab memberi
peluang bagi kesadaran keadilan yang berbeda di antara sistem Islam dan sistem
yang berlandaskan hukum adat.
Ketetapan
MPRS pasal 12 b lebih luas lagi menyatakan bahwa: “hukum kewarisan di seluruh
Indonesia mestilah parental, maka sistem keutamaan dan sistem penggantian
mestilah pula menurut sistem parental. Dalam pelaksanaannya prinsip mengenai
keutamaan dan penggantian itu dalat mengandung beberapa variasi tentang
garis-garis hukumnya, hal mana tidak dapat diletakan dalam hukum kewarisan
parental secara Qur’an. Mengenai keutamaan, diluar hukum Qur’an, adalah
berdasarkan hukum adat di Indonesia sebagai berikut:
1.
Kelompok
keutamaan pertama terdiri keturunan.
2.
Kelompok
keutamaan kedua terdiri orang tua.
3.
Kelompok
keutamaan ketiga terdiri dari saudara dan keturunan saudara.
4.
Kelompok
keutamaan keempat terdiri dari orang tua dari orang tua.
5.
Kelompok
keutamaan kelima terdiri dari saudara orang tua dan keturunan dari saudara
orang tua.
6.
Kelompok
keutamaan keenam terdiri dari orang tua dari orang tua dari orang tua.
7.
Kelompok
keutamaan ketujuh terdiri dari saudara orang tua dari orang tua dan keturunan
dari saudara orang tua dari orang tua.
Berdasarkan
hukum adat maupun menurut dasar hukum tertulis pada prinsipnya menganut
pembagian sama rata antara laki-laki dengan perempuan. Sedangkan yang dimaksud
dengan menurut dasar hukum tertulis adalah berdasarkan kitab undang-undang
hukum perdata (BW), sebagaimana diuraikan dalam bab II tentan buku ini.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara tersebut diikuti dengan
langkah-langkah nyata untuk mewujudkan Hukum positif yang lebih memadai. Dalam
hal ini dapat dipahami didalam ‘KEPUTUSAN BADAN PERENCANAAN LEMBAGA PEMBINAAN
HUKUM NASIONAL TANGGAL 28 MEI 1962 MENGENAI HUKUM KEKELUARGAAN” Pasal 12 dan
13.
Adanya
TAP MPRS dan keputusan tadi memberi indikasi adanya sistem hukum yang seragam
dalam suatu kodifikasi tersendiri dengan tetap memungkinkan adanya variasi
didalamnya.
Hukum
kewarisan adalah sebagian dari hukum kekeluargaan. Mengenai hukum kekeluargaan
ini Lembaga menetapkan dalam pasal 12 a bahwa “diseluruh indonesia hanya
berlaku satu sistem kekeluargaan, yaitu sistem parental, yang diatur dengan
undang-undang dengan menyesuaikan sistem lain yang terdapat dalam hukum adat
kepada sistem parental.
Dalam
upaya mewujudkan unifikasi dan kodifikasi hukum di bidang kewarisan masih
dimungkinkan adanya variasi bagi orang Islam dalam sistem kewarisan parental
individual. Akan variasi tersebut tidak dialami bagi orang-orang yang tidak
beragama Islam.