Kedudukan Harta Dalam Perkawinan


A.     Jenis harta dalam perkawinan
a.      Harta Bawaan
Harta / barang bawaan adalah segala perabot rumah tangga yang dipersiapkan oleh isteri dan keluarga, sebagai peralatan rumah tangga nanti bersama suaminya.[1]
Dalam hal barang / harta bawaan antara suami dan istri, pada dasarnya tidak ada percampuran antara keduanya karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri  dan dikuasai penuh olehnya. Demikian juga dengan harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.[2]
Sebelum memasuki perkawinan adakalanya suami atau isteri sudah memiliki harta benda. Dapat saja merupakan harta milik pribadi hasil usaha sendiri, harta keluarganya atau merupakan hasil warisan yang diterima dari orang tuanya. Harta benda yang telah ada sebelum perkawinan ini bila dibawa kedalam perkawinan tidak akan berubah statusnya. Pasal 35 ayat 2 UU nomor 1 tahun 1974 menetapkan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Masing-masing berhak menggunakan untuk keperluan apa saja.
Kedua suami isteri itu menurut pasal 89 dan 90 Inpres nomor 1 tahun 1991 wajib bertanggung jawab memelihara dan melindungi harta isteri atau harta suaminya serta harta milik bersama. Jika harta bawaan itu merupakan hak milik pribadi masing-masing jika terjadi kematian salah satu diantaranya maka yang hidup selama menjadi ahli waris dari si mati. Kalau harta bawaan itu bukan hak miliknya maka kembali sebagai mana adanya sebelumnya. Kalau keduanya meninggal maka ahli waris mereka adalah anak-anaknya.[3]
Sebenarnya yang bertanggung jawab secara hukum untuk menyediakan peralatan rumah tangga, seperti tempat tidur,perabot dapur dan sebagainya adalah suami. Sekalipun mahar yang diterimanya lebih besar daripada pembelian alat rumah tangga tersebut. Hal ini karena mahar menjadi hak perempuan sepenuhnya dan merupakan hak mutlak istri. Berbeda dengan pendapat golongan Maliki  yang mengatakan bahwa mahar bukan mutlak bagi istri. OLeh karena itu, ia tidak berhak membelanjakan untuk kepentingan dirinya. Akan tetapi bagi perempuan yang miskin, ia boleh mengambil sedikit darinya dengan cara-cara yang baik.[4]
 “Dari ‘Ali RA. berkata: Rasulullah SAW member barangbawaan pada Fatimah berupa pakaian, kantong tempat air yang terbuat ari klit dan bantal berenda.”
Berkaitan dengan mahar, menurut kami mahar tetap sepenuhnya hak perempuan. Akan tetapi apabila si perempuan dengan kerelaan hatinya memberikannya kepada si laki-laki maka boleh bagi laki-laki tersebut menggunakan untuk dirinya.
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian . Jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya". (Q.S. An- nisa' : 4 ).
b.      Harta Bersama Suami Istri
1.      Pengertian
Pasal 85 KHI: "Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri".
Pasal 35 atat 2 UU nomor 1 tahu 1974 menetapkan bahwa harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta benda milik bersama. Adapun harta bersama tersebut dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga, benda berwujud atau benda tak berwujud, baik yang telah ada maupun yang akan ada pada saat kemudian. Hadiah, honor, penghargaan dan sebagainya yang diperoleh masing-masing pihak yang menyebabkan bertambahnya pendapatan yang ada hubungannya dengan profesi atau pekerjaan sehari-hari suami atau isteri menjadi harta milik bersama.[5] Sedang yang tidak berwujud dapat berupa hak atau kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya. Suami atau istri tanpa persetujuan salah satu pihak tidak boleh menjual atau memindahkan harta bersama tersebut.[6]
Dalam hal pertanggung jawaban utang, baik terhadap utang suami maupun istri, bias dibebankan pada hartanya masing-masing. Sedang terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, maka dibebankan pada harta bersama. Akan tetapi apabila harta bersama tidak mencukupi, maka dibebankan pada harta suami. Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi, maka dibebankan pada harta istri.[7]
Semua harta yang diperoleh sepasang suami isteri selama dalam perkawinan mereka menjadi harta benda kepunyaan bersama. Menurut pasal 1 huruf f Inpres nomor 1 tahun 1991 mengatakan bahwa Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atau diperoleh atas nama siapa, suami atau isteri.
Disamping Allah telah menjanjikan karunia-Nya yang banyak, tetapi tiap manusia mempunyai kewajiban untuk bekerja mengusahakan adanya penghasilan untuk memenuhi semakin banyaknya kebutuhan hidup, baik kebutuhan untuk masa kini dan persiapan untuk masa yang akan datang. Semua orang harus mencari harta benda sebanyak mungkin agar meperoleh kemulyaan yang banyak. Agar dapat memberi nafkah semua yang menjadi tanggung jawabnya. Juga untuk membantu orang lain yang wajib dibantu menurut jalan yang diridhai Allah.Tangan di atas ( orang yang memberi ) lebih mulya daripada tangan yang dibawah ( orang yang menerima pemberian). Dalam hal mengumpulakan harta benda sebagai sarana untuk keperluan dunia agar selamat di akhirat kelak manusia harus selalu berusaha ( ikhtiar).
Harta bersama tidak boleh terpisah atau dibagi-bagi selama dalam perkawinan masih berlangsung. Apabila suami isteri itu berpisah akibat kematian atau akibat perceraiain barulah dapat dibagi. Jika pasangan suami isteri itu waktu bercerai atau salah satunya meninggal tidak memiliki anak, maka semua harta besama itu dibagi dua setelah dikeluarkan biaya pemakamam dan pembayar hutang-hutang suami isteri. Jika pasangan ini mempunyai anak maka yang menjadi ahli waris adalah suami atau isteri yang hidup terlama dan bersama anak-anak mereka.
2.      Penghasilan Istri dalam perkawinan
Salah satu tujuan perkawinan adalah mencari rezeki yang halal ( mengumpulkan harta benda). Mengenai harta yang diperoleh selama dalam perkawinan ini tidak dipertimbangkan apakah yang mempunyai penghasilan itu suami atau isteri. Menurut peraturan perkawinan Indonesia nomor 136 tahun 1946 pasal 50 ayat 4 menetapkan bahwa: Apabila isteri bekerja untuk keperluan rumah tangga, maka semua harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta benda milik bersama.[8]
Menurut kami walaupun telah dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa seorang wanita tidak boleh keluar rumah tanpa izin suaminya sekalipun itu pergi untuk berjamaah ke masjid, akan tetapi perlu diiketahui Islam adalah agama yang halus dan selalu mengutamakan kemaslahatan ummatnya. Oleh karena itu menurut kami seorang istri yang bekerja diluar rumah untuk membantu penghasilan suaminya dalam mencapai kemaslahatan keluarganya tetap diperbolehkan selama tidak keluar dari atauran syara' dan diizinkan oleh suami.. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah yang mana seorang perempuan bernama Saudah akan keluar rumah untuk memenuhi hajat hidupnya,kemudian mengadu kepada Nabi,dan Nabi bersabda :
” …………kamu kaum wanita telah diizinkan keluar untuk memenuhi  keperluanmu.”(Muttafaq Alaih)
Pada saat kebutuhan hidup yang selalu meningkat dengan harga semua barang yang makin melambung tinggi, kalau sifatnya darurat dapat saja para isteri bekerja di luar rumah bila diberi izin oleh suaminya, bila pekerjaan itu layak, sesuai dengan ajaran agama Islam dan sesuai pula dengan kodratnya sebagai wanita dalam rangka menunaikan kewajibannya sesuai dengan pasal 30 UU No. 1 tahun 1974 yang mengatakan bahwa sang isteri mempunyai kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
3.      Harta Gono Gini
a.      Pengertian Harta Gonogini
Dalam situs Asiamaya gono -gini didefinisikan sebagai harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami istri. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, gonogini diartikan sebagai harta perolehan bersama selama bersuami isteri. Dalam Kompilasi Hukum Islam  yang berlaku dalam lingkungan Pengadilan Agama, harta gono gini disebut dengan istilah “harta kekayaan dalam perkawinan”. Definisinya (dalam pasal 1 ayat f) adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.
Dikatakan juga harta gonogini adalah harta milik bersama suami  istri yang diperoleh oleh mereka berdua selama di dalam perkawinan, seperti halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda motor, atau barang lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji istri yang dijadikan satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta gono gini atau harta bersama. Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian harta gono-gini yang disebutkan di dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan, yaitu sebagai berikut :
“ Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. "
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan harta gono gini adalah harta benda yang diperoleh oleh suami isteri selama perkawinan dan menjadi hak kepemilikan berdua di antara suami isteri.
b.      Hak Istri atas Harta Gonogini
KUHPer pasal 125 : "Jika si suami tidak ada atau berada dalam keadaan tidak mungkin untuk menyatakan kehendaknya, sedangkan hal itu dibutuhkan segera, maka si isteri boleh mengikatkan atau memindahtangankan barang-barang dari harta bersama itu, setelah dikuasakan untuk itu oleh pengadilan negeri."
c.       Penggunaan Harta Gonogini
Ada dua macam hak dalam harta gonogini, yaitu hak milik dan hak guna. Harta gonogini suami dan isteri memang telah menjadi hak milik bersama, namun jangan dilupakan bahwa di sana juga terdapat hak gunanya. Artinya, mereka berdua sama-sama berhak menggunakan  harta tersebut dengan syarat harus mendapat persetujuan dari pasangannya. Jika suami yang akan menggunakan harta gonogini, dia harus mendapat izin dari isterinya. Demikian sebaliknya.
d.      Harta Gonogini Dalam Poligami
KUH Per 180: "Juga dalam perkawinan kedua dan berikutnya, menurut hukum ada harta benda menyeluruh antara suami isteri, jika dalam perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain." Artinya, ketentuan tentang harta gonogini juga berlaku untuk perkawinan secara poligami, asalkan tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan yang dibuat pasangan suami isteri tersebut.
e.       Pembagian Harta Gonogini
Pembagian harta gonogini sebaiknya secara adil, agar tidak menimbulkan ketidakadilan antara harta suami dan isteri.
KHI Pasal 88 :"Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada  Pengadilan Agama."
Jika pasangan tersebut lebih memilih cara yang lebih elegan, yaitu dengan cara damai (musyawarah). Namun, jika memang ternyata keadilan itu hanya bisa diperoleh melalui pengadilan maka jalan itulah yang lebih baik.
Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gonogini. Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum di dalam menyelesaikan masalah bersama, diantaranya adalah :
Pembagian harta gonogini  tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “ Ash Shulhu “ yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak ( suami istri ) setelah mereka berselisih.[9][31] Allah swt berfirman :
Artinya :“ Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka). “ ( Q.S.An Nisa':128 )
Ayat di atas diperkuat dengan sabda Rasulullah saw :”Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan  yang haram. (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi)
Begitu juga dalam pembagian harta gonogini, salah satu dari kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian haknya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Umpamanya : suami istri yang sama-sama bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40 % dari barang yang ada, sedang  suami mendapatkan 60 %, atau istri  55 % dan suami 45 %, atau dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan mereka berdua.
Memang kita temukan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam Peradilan Agama, pasal 97, yaitu : “ Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan."
Keharusan untuk membagi sama rata, yaitu masing-masing mendapatkan 50%, seperti dalam KHI di atas, ternyata tidak mempunyai dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang benar dalam pembagian harta gono gini adalah dikembalikan kepada kesepakatan antara suami istri. Kesepakatan tersebut berlaku jika masing-masing dari suami istri memang mempunyai andil di dalam pengadaan barang yang telah menjadi milik bersama, biasanya ini terjadi jika suami dan istri sama-sama bekerja. Namun masalahnya, jika istri di rumah dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono gini, dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri, maka menjadi milik istri.
Secara umum  pembagian harta gonogini baru bisa dilakukan setelah adanya gugatan cerai. Keadilan tidak mendeskriminasikan salah satu pihak. Istri yang tidak bekerja tetap mendapat pembagian harta gono gini, karena pekerjaan istri bersifat domestic. Begitu juga suami, dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain.
Pembagian harta gonogini atau harta bersama tetap dengan cara musyawarah dengan memperhatikan factor-faktor lain seperti; masing-masing penghasilan suami dan istri ataupun ta'lik nikah sebelumnya, dll. Jadi aturan dalam KHI tidak wajib  dilaksanakan. Hanya saja bersifat mengikat bagi penduduk Indonesia karena telah di undangkan. Akan tetapi menurut kami kita mengikuti aturan tersebut hukumnya mubah.
f.        Harta Gonogini Dalam Islam
Ada yang memandang diperbolehkan dan ada yang memandang sebaliknya. Konsep harta gonogini beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fikih (Hukum Islam) klasik. Fikih Islam klasik adalah produk hokum yang dihasilkan oleh Ulama-ulama terdahulu. Masalah harta gonogini sesungguhnya merupakan wilayah hukum yang belum disentuh (Ghoir al Mufakkar Fih), sebab lebih banyak berkembang dan urgent untuk dibicarakan pada masa modern ini.
Secara umum, hukum Islam tidak melihat adanya harta gonogini. Dengan kata lain, Hukum Islam pada umumnya lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri. Apa yang dihasilkan istri merupakan harta miliknya, demikian juga apa yang dihasilkan suami adalah harta miliknya.
Pasal 86 KHI:
1)      Pada dasaranya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.
2)      Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya,demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuaai penuh olehnya.
Zahri Hamid memandang bahwa Hukum Islam mengatur system terpisahnya antara harta suami dan harta istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hukum Islam juga memeberikan kelonggaran kepada mereka berdua untuk membuat perjanjian perkawinan sesuai dengan keinginan mereka berdua, dan perjanjian tersebut akhirnya mengikat mereka secara hukum.
Hal senada dikemukakan oleh Ahmad Azhar Basyir bahwa Hukum Islam memberi hak kepada masing-masing pasangan, baik suami atau istri, untuk memiliki harta benda secara perorangan, yang tidak bisa diganggu oleh masing-masing pihak. Pandangan Hukum Islam yang memisah harta kekayaan suami istri sebenarnya memudahkan pemisahan mana yang termasuk harta suami atau harta istri yang diperoleh secara sendiri selama perkawinan, mana yang harta gonogini. Pemisahan antara harta suami atau istri jika terjadi perceraian dalam perkawinan mereka. Masalah harta gonogini merupakan masalah keduniawian yang belum pernah tersentuh oleh Hukum Islam kontemporer tentang masalah ini diteropong melalui pendekatan ijtihad, yaitu bahwa harta benda yang diperoleh suami istri bersama-sama selama masa perkawinan merupakan harta gonogini.[10][43] Oleh karena itu, hal-hal yang berkenaan dengan perkawinan mereka. Termasuk masih harta benda, menjadi milik bersama.
Menurut kami pada dasarnya mengenai gonogini tidak terdapat pada hukum Islam klasik. Akan tetapi, modernisasi dan globalisasi yang membawa Islam harus menjawab tentang hukum gonogini. Islam sesungguhnya hanya membagi  harta suami dan harta istri secara terpisah. Akan tetapi menurut kami Islam memperbolehkan adanya harta bersama (syirkatul maal) atau yang dikenal dengan harta gonogini.
g.      Pewarisan Harta Benda Milik Bersama.
Apabila meninggal salah seorang suami atau isteri , maka yang menjadi ahli warisnya adalah yang hidup terlama atau suami / isteri yang masih hidup dan kedua orang tuanya. Jika keduanya meninggal dunia dengan meninggalkan anak, maka yang menjadi ahli waris keduanya adalah anak-anak mereka dan kedua orang orang tua mereka dan kerabat lainnya dengan porsi pembagian masing-masing yang telah ditentukan besarnya porsi masing-masing ahli waris.
h.      Pemanfaatan harta benda
Dalam hal penggunaan harta benda milik bersama ini menurut pasal 36 ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974 menetapakan bahwa suami atau isteri dapat bertindak bila atas dasar peretujuan kedua belah pihak. Menurut pasa 92 Inpres nomor 1 tahun 1991 suami atau isteri tanpa adanya persetujuan pihak lainnya tidak boleh menjual atau memindahtangankan harta milik bersama. Harta benda milik bersama hanya dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari semua pihak terkait menurut atau untuk memenuhi kebutuhan bersama atau kebutuhan apa yang menjadi tanggung jawabnya.menurut yang wajar dan layak. Bila ada ada kelebihan wajib disimpan sebagai cadangan atau sebagai modal dan investasi. Tidak boleh dibelanjakan secara boros , karena orang pemboros adalah sahabat setan di dunia dan sahabat setan juga di dalam neraka kelak. Harta milik bersama dapat dipergunakan oleh pihak ketiga sebagai pinjaman atau hibah dengan syarat harus disetujui oleh suami / isteri dan anak-anak. Harta bersama dalam perkawinan adalah milik suami /isteri dan semua anak-anak.[11]















[1] Drs. Slamet Abidin dan Drs. H. Aminuddin. Fiqh Munakahat 1 Untuk Fakultas Syari'ah Komponen MKDK, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), h.  181
[2]Ibid, H. 182
[3] http://www.islam-yes.com/harta_benda.htm (diakses pada tanggal 25 Mei 2012 pada pukul 13.25 WITA)
[4]Op. Cit Drs. Slamet Abidin, h. 182
[5]http://abidinsuccesmen.blogspot.com/2011/01/makalah-harta-benda-dalam-perkawinan.html (diakses pada tanggal 25 Mei 2012 pada pukul 20.45 WITA)
[6]Op. Cit Drs. Slamet Abidin, h. 183
[7] Dr. H. M. A. Tihami, Fiqh Munakahat : Kajian fiqih Nikah Lengkap, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009, h. 179
[8] http://www.islam-yes.com/harta_benda.htm


[11]Op. Cit, http://abidinsuccesmen.blogspot.com/2011/01/makalah-harta-benda-dalam-perkawinan.html

Labels: