A.
Jenis harta
dalam perkawinan
a.
Harta Bawaan
Harta
/ barang bawaan adalah segala perabot rumah tangga yang dipersiapkan oleh
isteri dan keluarga, sebagai peralatan rumah tangga nanti bersama suaminya.
Dalam
hal barang / harta bawaan antara suami dan istri, pada dasarnya tidak ada
percampuran antara keduanya karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak
istri dan dikuasai penuh olehnya.
Demikian juga dengan harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh
olehnya.
Sebelum
memasuki perkawinan adakalanya suami atau isteri sudah memiliki harta benda.
Dapat saja merupakan harta milik pribadi hasil usaha sendiri, harta keluarganya
atau merupakan hasil warisan yang diterima dari orang tuanya. Harta benda yang
telah ada sebelum perkawinan ini bila dibawa kedalam perkawinan tidak akan
berubah statusnya. Pasal 35 ayat 2 UU nomor 1 tahun 1974 menetapkan bahwa harta
bawaan dari masing-masing suami dan isteri adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Masing-masing berhak
menggunakan untuk keperluan apa saja.
Kedua
suami isteri itu menurut pasal 89 dan 90 Inpres nomor 1 tahun 1991 wajib
bertanggung jawab memelihara dan melindungi harta isteri atau harta suaminya
serta harta milik bersama. Jika harta bawaan itu merupakan hak milik pribadi
masing-masing jika terjadi kematian salah satu diantaranya maka yang hidup selama
menjadi ahli waris dari si mati. Kalau harta bawaan itu bukan hak miliknya maka
kembali sebagai mana adanya sebelumnya. Kalau keduanya meninggal maka ahli
waris mereka adalah anak-anaknya.
Sebenarnya
yang bertanggung jawab secara hukum untuk menyediakan peralatan rumah tangga,
seperti tempat tidur,perabot dapur dan sebagainya adalah suami. Sekalipun mahar
yang diterimanya lebih besar daripada pembelian alat rumah tangga tersebut. Hal
ini karena mahar menjadi hak perempuan sepenuhnya dan merupakan hak mutlak
istri. Berbeda dengan pendapat golongan Maliki
yang mengatakan bahwa mahar bukan mutlak bagi istri. OLeh karena itu, ia
tidak berhak membelanjakan untuk kepentingan dirinya. Akan tetapi bagi
perempuan yang miskin, ia boleh mengambil sedikit darinya dengan cara-cara yang
baik.
“Dari ‘Ali RA. berkata: Rasulullah SAW member
barangbawaan pada Fatimah berupa pakaian, kantong tempat air yang terbuat ari
klit dan bantal berenda.”
Berkaitan
dengan mahar, menurut kami mahar tetap sepenuhnya hak perempuan. Akan tetapi
apabila si perempuan dengan kerelaan hatinya memberikannya kepada si laki-laki
maka boleh bagi laki-laki tersebut menggunakan untuk dirinya.
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada
wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian .
Jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya". (Q.S. An- nisa' : 4 ).
b.
Harta Bersama Suami Istri
1.
Pengertian
Pasal
85 KHI: "Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri".
Pasal 35 atat 2 UU nomor 1 tahu 1974 menetapkan
bahwa harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta benda
milik bersama. Adapun harta bersama tersebut dapat meliputi benda tidak
bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga, benda berwujud atau benda
tak berwujud, baik yang telah ada maupun yang akan ada pada saat kemudian.
Hadiah, honor, penghargaan dan sebagainya yang diperoleh masing-masing pihak
yang menyebabkan bertambahnya pendapatan yang ada hubungannya dengan profesi
atau pekerjaan sehari-hari suami atau isteri menjadi harta milik bersama. Sedang
yang tidak berwujud dapat berupa hak atau kewajiban. Keduanya dapat dijadikan
jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya. Suami atau
istri tanpa persetujuan salah satu pihak tidak boleh menjual atau memindahkan
harta bersama tersebut.
Dalam hal pertanggung jawaban utang, baik
terhadap utang suami maupun istri, bias dibebankan pada hartanya masing-masing.
Sedang terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, maka
dibebankan pada harta bersama. Akan tetapi apabila harta bersama tidak
mencukupi, maka dibebankan pada harta suami. Bila harta suami tidak ada atau
tidak mencukupi, maka dibebankan pada harta istri.
Semua
harta yang diperoleh sepasang suami isteri selama dalam perkawinan mereka
menjadi harta benda kepunyaan bersama. Menurut pasal 1 huruf f Inpres nomor 1
tahun 1991 mengatakan bahwa Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah
harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami isteri selama
dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama
tanpa mempersoalkan terdaftar atau diperoleh atas nama siapa, suami atau
isteri.
Disamping
Allah telah menjanjikan karunia-Nya yang banyak, tetapi tiap manusia mempunyai
kewajiban untuk bekerja mengusahakan adanya penghasilan untuk memenuhi semakin
banyaknya kebutuhan hidup, baik kebutuhan untuk masa kini dan persiapan untuk
masa yang akan datang. Semua orang harus mencari harta benda sebanyak mungkin
agar meperoleh kemulyaan yang banyak. Agar dapat memberi nafkah semua yang
menjadi tanggung jawabnya. Juga untuk membantu orang lain yang wajib dibantu
menurut jalan yang diridhai Allah.Tangan di atas ( orang yang memberi ) lebih
mulya daripada tangan yang dibawah ( orang yang menerima pemberian). Dalam hal
mengumpulakan harta benda sebagai sarana untuk keperluan dunia agar selamat di
akhirat kelak manusia harus selalu berusaha ( ikhtiar).
Harta
bersama tidak boleh terpisah atau dibagi-bagi selama dalam perkawinan masih
berlangsung. Apabila suami isteri itu berpisah akibat kematian atau akibat
perceraiain barulah dapat dibagi. Jika pasangan suami isteri itu waktu bercerai
atau salah satunya meninggal tidak memiliki anak, maka semua harta besama itu
dibagi dua setelah dikeluarkan biaya pemakamam dan pembayar hutang-hutang suami
isteri. Jika pasangan ini mempunyai anak maka yang menjadi ahli waris adalah
suami atau isteri yang hidup terlama dan bersama anak-anak mereka.
2.
Penghasilan Istri dalam perkawinan
Salah
satu tujuan perkawinan adalah mencari rezeki yang halal ( mengumpulkan harta
benda). Mengenai harta yang diperoleh selama dalam perkawinan ini tidak
dipertimbangkan apakah yang mempunyai penghasilan itu suami atau isteri.
Menurut peraturan perkawinan Indonesia nomor 136 tahun 1946 pasal 50 ayat 4
menetapkan bahwa: Apabila isteri bekerja untuk keperluan rumah tangga, maka
semua harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta benda
milik bersama.
Menurut
kami walaupun telah dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa seorang wanita tidak
boleh keluar rumah tanpa izin suaminya sekalipun itu pergi untuk berjamaah ke
masjid, akan tetapi perlu diiketahui Islam adalah agama yang halus dan selalu
mengutamakan kemaslahatan ummatnya. Oleh karena itu menurut kami seorang istri
yang bekerja diluar rumah untuk membantu penghasilan suaminya dalam mencapai
kemaslahatan keluarganya tetap diperbolehkan selama tidak keluar dari atauran
syara' dan diizinkan oleh suami.. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Aisyah yang mana seorang perempuan bernama Saudah akan
keluar rumah untuk memenuhi hajat hidupnya,kemudian mengadu kepada Nabi,dan
Nabi bersabda :
” …………kamu kaum wanita telah diizinkan keluar untuk memenuhi keperluanmu.”(Muttafaq Alaih)
Pada
saat kebutuhan hidup yang selalu meningkat dengan harga semua barang yang makin
melambung tinggi, kalau sifatnya darurat dapat saja para isteri bekerja di luar
rumah bila diberi izin oleh suaminya, bila pekerjaan itu layak, sesuai dengan
ajaran agama Islam dan sesuai pula dengan kodratnya sebagai wanita dalam rangka
menunaikan kewajibannya sesuai dengan pasal 30 UU No. 1 tahun 1974 yang mengatakan
bahwa sang isteri mempunyai kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
3.
Harta Gono Gini
a.
Pengertian
Harta Gonogini
Dalam situs Asiamaya gono -gini didefinisikan sebagai harta yang
berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami
istri. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
gonogini diartikan sebagai harta perolehan bersama selama bersuami isteri. Dalam Kompilasi Hukum Islam yang berlaku
dalam lingkungan Pengadilan Agama, harta gono gini disebut dengan istilah “harta
kekayaan dalam perkawinan”. Definisinya (dalam pasal 1 ayat f) adalah harta
yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam
ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.
Dikatakan
juga harta gonogini
adalah harta milik bersama suami istri
yang diperoleh oleh mereka berdua selama di dalam perkawinan, seperti halnya
jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda motor, atau barang lain kepada
suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka
berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji istri yang dijadikan satu, itu
semuanya bisa dikatagorikan harta gono gini atau harta bersama. Pengertian
tersebut sesuai dengan pengertian harta gono-gini yang disebutkan di dalam
pasal 35 Undang-Undang Perkawinan, yaitu sebagai berikut :
“ Harta benda
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. "
Dari beberapa
definisi tersebut, dapat disimpulkan harta gono gini adalah harta benda yang
diperoleh oleh suami isteri selama perkawinan dan menjadi hak kepemilikan
berdua di antara suami isteri.
b.
Hak Istri atas
Harta Gonogini
KUHPer pasal 125 : "Jika si suami tidak ada atau berada dalam
keadaan tidak mungkin untuk menyatakan kehendaknya, sedangkan hal itu
dibutuhkan segera, maka si isteri boleh mengikatkan atau memindahtangankan
barang-barang dari harta bersama itu, setelah dikuasakan untuk itu oleh
pengadilan negeri."
c.
Penggunaan Harta Gonogini
Ada dua macam hak dalam harta gonogini, yaitu hak milik dan hak guna.
Harta gonogini suami dan isteri memang telah menjadi hak milik bersama, namun
jangan dilupakan bahwa di sana juga terdapat hak gunanya. Artinya, mereka
berdua sama-sama berhak menggunakan
harta tersebut dengan syarat harus mendapat persetujuan dari
pasangannya. Jika suami yang akan menggunakan harta gonogini, dia harus
mendapat izin dari isterinya. Demikian sebaliknya.
d.
Harta Gonogini Dalam Poligami
KUH Per 180: "Juga dalam perkawinan kedua dan berikutnya, menurut
hukum ada harta benda menyeluruh antara suami isteri, jika dalam perjanjian
kawin tidak diadakan ketentuan lain." Artinya, ketentuan tentang harta
gonogini juga berlaku untuk perkawinan secara poligami, asalkan tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan yang dibuat pasangan suami isteri tersebut.
e.
Pembagian Harta Gonogini
Pembagian harta gonogini sebaiknya secara adil, agar tidak menimbulkan
ketidakadilan antara harta suami dan isteri.
KHI Pasal 88 :"Apabila terjadi perselisihan antara suami istri
tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama."
Jika pasangan tersebut lebih memilih cara yang lebih elegan, yaitu
dengan cara damai (musyawarah). Namun, jika memang ternyata keadilan itu hanya
bisa diperoleh melalui pengadilan maka jalan itulah yang lebih baik.
Di dalam Islam
tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gonogini. Islam hanya
memberikan rambu-rambu secara umum di dalam menyelesaikan masalah bersama,
diantaranya adalah :
Pembagian harta
gonogini tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini
di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “ Ash Shulhu “ yaitu perjanjian untuk
melakukan perdamaian antara kedua belah pihak ( suami istri ) setelah mereka berselisih.[9][31] Allah swt berfirman :
Artinya :“ Dan
jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya,
maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka). “ ( Q.S.An Nisa':128 )
Ayat di atas
diperkuat dengan sabda Rasulullah saw :”Perdamaian adalah boleh di antara
kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian
yang menghalalkan yang haram. (HR
Abu Dawud, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi)
Begitu juga
dalam pembagian harta gonogini, salah satu dari kedua belah pihak atau
kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian haknya demi untuk mencapai suatu
kesepakatan. Umpamanya : suami istri yang sama-sama bekerja dan membeli
barang-barang rumah tangga dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua
melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40 % dari barang
yang ada, sedang suami mendapatkan 60 %, atau istri 55 % dan suami
45 %, atau dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan
mereka berdua.
Memang kita
temukan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam Peradilan Agama, pasal 97,
yaitu : “ Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan."
Keharusan untuk
membagi sama rata, yaitu masing-masing mendapatkan 50%, seperti dalam KHI di
atas, ternyata tidak mempunyai dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga
pendapat yang benar dalam pembagian harta gono gini adalah dikembalikan kepada
kesepakatan antara suami istri. Kesepakatan tersebut berlaku jika masing-masing
dari suami istri memang mempunyai andil di dalam pengadaan barang yang telah
menjadi milik bersama, biasanya ini terjadi jika suami dan istri sama-sama
bekerja. Namun masalahnya, jika istri di rumah dan suami yang bekerja, maka
dalam hal ini tidak terdapat harta gono gini, dan pada dasarnya semua yang
dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan
kepada istri, maka menjadi milik istri.
Secara umum pembagian harta
gonogini baru bisa dilakukan setelah adanya gugatan cerai. Keadilan tidak
mendeskriminasikan salah satu pihak. Istri yang tidak bekerja tetap mendapat
pembagian harta gono gini, karena pekerjaan istri bersifat domestic. Begitu
juga suami, dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain.
Pembagian harta gonogini atau harta bersama tetap dengan cara musyawarah
dengan memperhatikan factor-faktor lain seperti; masing-masing penghasilan
suami dan istri ataupun ta'lik nikah sebelumnya, dll. Jadi aturan dalam KHI
tidak wajib dilaksanakan. Hanya saja
bersifat mengikat bagi penduduk Indonesia karena telah di undangkan. Akan
tetapi menurut kami kita mengikuti aturan tersebut hukumnya mubah.
f.
Harta Gonogini Dalam Islam
Ada yang memandang diperbolehkan dan ada yang memandang sebaliknya.
Konsep harta gonogini beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam
kajian fikih (Hukum Islam) klasik. Fikih Islam klasik adalah produk hokum yang
dihasilkan oleh Ulama-ulama terdahulu. Masalah harta gonogini sesungguhnya
merupakan wilayah hukum yang belum disentuh (Ghoir al Mufakkar Fih), sebab
lebih banyak berkembang dan urgent untuk dibicarakan pada masa modern ini.
Secara umum, hukum Islam tidak melihat adanya harta gonogini. Dengan
kata lain, Hukum Islam pada umumnya lebih memandang adanya keterpisahan antara
harta suami dan harta istri. Apa yang dihasilkan istri merupakan harta
miliknya, demikian juga apa yang dihasilkan suami adalah harta miliknya.
Pasal 86 KHI:
1)
Pada dasaranya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena
perkawinan.
2)
Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya,demikian juga
harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuaai penuh olehnya.
Zahri Hamid memandang bahwa Hukum Islam mengatur system terpisahnya
antara harta suami dan harta istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan
lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hukum Islam juga
memeberikan kelonggaran kepada mereka berdua untuk membuat perjanjian
perkawinan sesuai dengan keinginan mereka berdua, dan perjanjian tersebut
akhirnya mengikat mereka secara hukum.
Hal senada dikemukakan oleh Ahmad Azhar Basyir bahwa Hukum Islam memberi
hak kepada masing-masing pasangan, baik suami atau istri, untuk memiliki harta
benda secara perorangan, yang tidak bisa diganggu oleh masing-masing pihak.
Pandangan Hukum Islam yang memisah harta kekayaan suami istri sebenarnya
memudahkan pemisahan mana yang termasuk harta suami atau harta istri yang
diperoleh secara sendiri selama perkawinan, mana yang harta gonogini. Pemisahan
antara harta suami atau istri jika terjadi perceraian dalam perkawinan mereka.
Masalah harta gonogini merupakan masalah keduniawian yang belum pernah
tersentuh oleh Hukum Islam kontemporer tentang masalah ini diteropong melalui
pendekatan ijtihad, yaitu bahwa harta benda yang diperoleh suami istri
bersama-sama selama masa perkawinan merupakan harta gonogini.[10][43] Oleh karena itu, hal-hal yang berkenaan dengan
perkawinan mereka. Termasuk masih harta benda, menjadi milik bersama.
Menurut kami
pada dasarnya mengenai gonogini tidak terdapat pada hukum Islam klasik. Akan
tetapi, modernisasi dan globalisasi yang membawa Islam harus menjawab tentang
hukum gonogini. Islam sesungguhnya hanya membagi harta suami dan harta istri secara terpisah.
Akan tetapi menurut kami Islam memperbolehkan adanya harta bersama (syirkatul
maal) atau yang dikenal dengan harta gonogini.
g.
Pewarisan Harta
Benda Milik Bersama.
Apabila
meninggal salah seorang suami atau isteri , maka yang menjadi ahli warisnya
adalah yang hidup terlama atau suami / isteri yang masih hidup dan kedua orang
tuanya. Jika keduanya meninggal dunia dengan meninggalkan anak, maka yang
menjadi ahli waris keduanya adalah anak-anak mereka dan kedua orang orang tua
mereka dan kerabat lainnya dengan porsi pembagian masing-masing yang telah
ditentukan besarnya porsi masing-masing ahli waris.
h.
Pemanfaatan
harta benda
Dalam hal penggunaan harta benda milik bersama ini menurut pasal 36
ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974 menetapakan bahwa suami atau isteri dapat
bertindak bila atas dasar peretujuan kedua belah pihak. Menurut pasa 92 Inpres
nomor 1 tahun 1991 suami atau isteri tanpa adanya persetujuan pihak lainnya
tidak boleh menjual atau memindahtangankan harta milik bersama. Harta benda
milik bersama hanya dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari semua pihak
terkait menurut atau untuk memenuhi kebutuhan bersama atau kebutuhan apa yang
menjadi tanggung jawabnya.menurut yang wajar dan layak. Bila ada ada kelebihan
wajib disimpan sebagai cadangan atau sebagai modal dan investasi. Tidak boleh
dibelanjakan secara boros , karena orang pemboros adalah sahabat setan di dunia
dan sahabat setan juga di dalam neraka kelak. Harta milik bersama dapat dipergunakan
oleh pihak ketiga sebagai pinjaman atau hibah dengan syarat harus disetujui
oleh suami / isteri dan anak-anak. Harta bersama dalam perkawinan adalah milik
suami /isteri dan semua anak-anak.